
OPINI, Suara Jelata— Patologi politik merujuk pada pengertian dasarnya mengenai Patologi, yakni dari sudut pandang ilmu kesehatan merupakan gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem.
Pengertian patologi politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang akan menggangu pada sistem politik dan berdampak pada terciptanya patologi birokrasi, yakni tergangunya (Abnormal) sistem birokrasi.
Oleh karena itu, dapat diidentifikasi paling tidak, ada tiga bentuk patologi politik menurut M. Sidi Ritaudin dalam bukunya Kungkungan Patologi Politik Hancurkan Budaya Luhur Bangsa.
Menurut beliau sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ini menjadi tema besar sasaran reformasi, antara lain adalah:
Pertama, Transactional Politics. istilah transactional politics (politik transaksi/ janji-janji atau kesepakatan-kesepakatan antar politikus atau konstituen dan lain-lain), hingga para pengusaha yang berdiri di belakang sebagai penyandang dana yang juga mempunyai agenda terselubung.
Politik transaksi merupakan sebuah gejala yang dapat dikatakan ada dan tiada, maksudnya gejala transaksional politik nampaknya tidak terlihat dilapangan dalam setiap konstestasi politik, akan tetapi ditinjau lebih dalam terhadap isu yang berkembang bahwa praktek transaksional itu marak terjadi walaupun bukti secara rill belum ada.
Tak apalagi para pemilik modal yang sangat menggurita yang merembes di dunia perpolitikan nyatanya tidak dapat di bendung, dan hal ini dapat dikatakan cukup lumrah di kuping masyarakat sehingga wajar saja setelah momentum di setiap pesta demokrasi ada-ada saja wacana hutang budi para politisi dengan para pensupport kampanyenya.
Kedua, Abause of Power (penyalahgunaan kekuasaan), hal ini kerap kali terjadi, terlebih lagi jika kontrolnya lembek.
Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah.
Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah.
Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah.
Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi.
Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
Ketiga, Konflik Of Interest, yaitu pertentangan kepentingan. Pada awalnya, waktu masih sebagai rakyat biasa, berkoar-koar ingin membela rakyat.
Ironisnya, setelah berkuasa “Niat”nya pun berubah. Dan kemudian muncul keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, ingin menimbun harta, ingin mengajak kroni-kroni dan keluarga dan lain sebagainya, sehingga timbullah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tubuh birokrasi pemerintahan.
Menurut penulis, hal yang demikian akan menyebabkan hukum sebab akibat yang selanjutnya akan terjadi patologi birokrasi atau penyakit dalam birokrasi.
Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan, pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lain-lain.
Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
Penulis: Arjuna, Mahasiswa STIP Muhammadiyah Sinjai