
OPINI, Suara Jelata— Di era fordisme ini, pendidikan tinggi merupakan sebuah wadah di mana berbagai kepentingan berusaha masuk di dalamnya.
Pendidikan tinggi sejatinya adalah tempat dimana setiap elemen dalam kampus khususnya mahasiswa dituntut menjadi lebih kritis dalam melihat segala fenomena.
Terlebih bagi kampus yang menjadi tempat untuk memanusiakan manusia. Namun, keadaan yang ideal tersebut telah berubah pasca tahun 1998 dengan nama reformasi perguruan tinggi (high education reform).
Di era ini, kampus diinstruksikan oleh pemerintah agar menyesuaikan diri dengan kondisi kontemporer yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Akhirnya tidak heran negara belomba-lomba mengakreditasi kampusnya demi untuk menang dalam kompetisi gelombang pasar bebas, yang akhirnya menutupi hakikat pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa serta memanusiakan manusia.
Plato mengatakan bahwa tugas Pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari ketidaktahuan dan ketidakbenaran. UUD 1945 (versi amandemen), pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system Pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pertanyaan yang kemudian muncul apakah tujuan Pendidikan seperti yang termaktub dalam UUD 1945 telah diimplementasikan dengan bijak hari ini?
Selasa 12 Maret 2019 di media online TribunJakarta.com, muncul sebuah berita yang ber-headline “Kemenristek Dikti Arahkan Kampus sesuai Kebutuhan Industri, bukan Humaniora dan Sosial” meskipun berita ini sudah berlalu beberapa minggu yang lalu namun respon ataupun tanggapan atas berita tersebut tidak mengenal kata terlambat.
Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, mengatakan perguruan tinggi atau kampus diarahkan untuk membentuk sarjana yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Sementara tujuan Pendidikan yang tertuang dalam konstitusi negeri ini yakni bagaimana membuat manusia-manusia yang berada di bawah naungan kampus menjadi pribadi yang berkarakter dan tentunya berguna bagi masyarakat, seorang mahasiswa dituntut sadar akan hak dan tanggungjawabnya yang berorientasi ke dalam kehidupan bermasyarakat dan mampu memecahkan ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Tapi ketika mahasiswa diarahkan untuk kebutuhan industri tentunya yang akan keluar pasca dunia kampus yakni para tenaga kerja yang siap menjadi buruh di industri-industri, kalaupun para mahasiswa hendak diarahkan ke kebutuhan industri, rasanya tidak perlu para generasi muda merasakan Pendidikan tinggi di kampus, cukup mengikuti pelatihan tenaga kerja dan pemerintah menyediakan training untuk para generasi muda untuk menjadi tenaga kerja yang handal.
Mahasiswa adalah aset bangsa, bukan pekerja untuk kepentingan industri yang ada di negerinya kalaupun berpikiran bahwa mahasiswa akan dimakmurkan oleh industri, hal demikian mungkin saja terjadi namun yang harus ditelaah dengan seksama adalah mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Artinya, jika para mahasiswa memprioritaskan kepentingan dan keuntungan pribadi maka konsep Pendidikan sebagai alat memanusiakan manusia tidak berlaku lagi serta hakikat mahasiswa atau manusia sebagai makhluk sosial telah beralih menjadi makhluk individu maka apakah masih pantas mahasiswa disebut sebagai aset bangsa?
Alangkah lebih elegannya Pendidikan hari ini jika lebih diorientasikan ke arah humaniora dan sosial sebagai bentuk respon yang solutif atas kondisi kehidupan masyarakat hari ini yang mana rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika kerapkali mengalami guncangan dan di tengah kondisi seperti itu seharusnya mahasiswa sebagai pengontrol sosial berdiri di garda terdepan untuk menyelesaikan hal-hal yang dapat mengganggu keberlangsungan tatanan di negeri ini.
Akhir-akhir ini, di negeri kita tengah dilanda beberapa fenomena yang mnciderai nilai-nilai humaniora, sebut saja pelanggaran HAM, pelecehan seksual di berbagai daerah serta tindakan-tindakan pengambil-alihan ruang hidup yang dialami masyarakat khususnya masyarakat adat.
Fenomena dan konflik-konflik seperti itu menuntut kesadaran individu untuk turut andil memberikan solusi dan siapa yang memiliki peran di sini? Salah satunya adalah mahasiswa.
Seperti kita tahu bersama bahwa salah satu poin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian kepada masyarakat. Dalam kasus seperti di atas, mahasiswa dituntut terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan advokasi ataupun riset sebagai proses penyelesaian problematika di tengah masyarakat.
Di dalam persoalan kebangsaan, mahasiswa harus memiliki keberanian dalam proses penegakan konstitusi yang menjadi dasar atau ideologi negara yakni UUD 1945 dan Pancasila.
Kedua pedoman kenegaraan itu harus diaplikasikan sesuai apa yang terkandung di dalamnya.
Kasus-kasus seperti di atas jika tidak ditindaklanjuti dengan seksama maka itu akan memicu tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan lajur konstitusi, tentunya hukum yang ada dalam konstitusi menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan.
Pendidikan sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan dalam mengolah potensi individu yang bernaung di dalamnya untuk melahirkan karakter serta kesadaran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan jika itu dialihkan untuk kepentingan industri maka apa yang akan terjadi?
Mahasiswa akan jauh atau bahkan menutup mata atas kondisi kehidupan masyarakat, mahasiswa akan menjadi makhluk individu yang senantiasa hanya akan memikirkan kepentingan pribadinya, mahasiswa akan menjadi manusia yang individualistik.
Said Nursi, seorang cendekiawan muslim dari Turki, pernah mengatakan bahwa salah satu virus yang merugikan atau mematikan umat manusia yakni meningkatnya individualisme.
Industri tanpa Humaniora dan Sosial adalah kebobrokan, Humaniora dan Sosial tanpa Industri adalah kebijaksanaan.
Penulis: Askar Nur, (Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar).