Opini

Reduksionisme Demokrasi

×

Reduksionisme Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Penulis
Penulis

OPINI, Suara Jelata— Refleksi hari kebangkitan nasional, 20 Mei ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional Indonesia, hari yang sama ketika dahulu sekumpulan mahasiswa kedokteran Stovia berdiskusi dengan Dr. Soetomo tentang masa depan bangsa dan tanah air mereka.

Hasil diskusi di ruang kelas itu ditransformasikan menjadi sebuah gerakan awal yang coba mengelaborasi cita-cita kemerdekaan, itulah hari lahirnya Budi Utomo, hari bangkitnya kesadaran kolektif yang dimotori oleh pemuda untuk melihat Indonesia yang merdeka dari segala macam wajah penjajahan.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Narasi kemerdekaan hari itu terus digaungkan dalam ucapan, tulisan, maupun perbuatan, diperkokoh oleh konsep persatuan yang dilahirkan dari rahim suci sumpah pemuda sebagai landasan gerak juang menuju kemerdekaan paripurna.

Cita-cita kemerdekaan sebagai hak segala bangsa lalu dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai hukum dasar Negara Indonesia.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Untuk menjaga kelestarian kemerdekaan maka dipilihlah Pancasila sebagai dasar, tujuan juga menjadi ideologi negara yang mempunyai fungsi menyatukan bangsa Indonesia, memperkokoh dan memelihara kesatuan dan persatuan.

Serta membimbing dan mengarahkan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya sebagaimana yang termaktub secara jelas di dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia keempat.

Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia kita merdeka, Revolusi nasional memang sudah berhasil dicapai lewat pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh bangsa-bangsa lain, namun revolusi sosial belum lagi teraktualisasi sebagaimana mestinya.

Percikan api revolusi yang diharapkan akan mampu menciptakan alam demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan visi kebebasan, persamaan serta persaudaraan yang berlandaskan pada nilai-nilai religiusitas.

Hanya menjadi buah bibir yang didemonstrasikan secara sporadis tanpa disokong oleh kemapanan komitmen pemerintah di dalam usaha aktualisasinya.

Pada momentum hari kebangkitan nasional ini kita patut merefleksi kondisi aktual Indonesia dari berbagai sisi.

Kemacetan demokrasi dalam alinea dua pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pembentukan negara dan kemerdekaan adalah aktualisasi demokrasi yang bebas, bersatu, berdaulat adil dan makmur.

Demokrasi dan kemakmuran adalah akhir dari cita-cita luhur kemerdekaan, di mana negara diatur dan kelola hanya untuk memenuhi kesejahteraan rakyat dengan memberikan mereka kedaulatan untuk terlibat penuh di dalam diskursus politik dan ekonomi.

Itulah makna inti dari demokrasi, hak rakyat untuk bersyarikat, berkumpul, berpolitik, melakukan aktivitas ekonomi dijamin oleh negara.

Pengalaman negara-negara kominis dan demokrasi liberal bahwa kebutuhan, kemajuan dan pembangunan hanya dapat dicapai dengan demokrasi.

Demokrasi tidak akan menghambat kemajuan ekonomi seperti doktrin kuno orde lama tentang stabilitas politik yang dilaksanakan dengan budaya patrimonialisme dan kekuasaan otoritarianisme.

Dua puluh satu tahun pasca reformasi, demokrasi kita mengalami kemacetan yang cukup akut, tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi sebagaimana yang disebutkan Robert Dahl, kompetisi, partisipasi dan kebebasan masih menjadi pekerjaan rumah yang berceceran di atas meja kerja kekuasaan.

Demokrasi sering mengalami reduksi pemaknaan sehingga sering disimplifikasikan hanya sebagai sebuah aktivitas partisipatif prosedural atau formal-elektoral.

Padahal demokrasi bukan hanya soal memilih kandidat pemimpin di tingkat regional dan nasional, demokrasi juga membicarakan kebebasan seseorang atau kelompok untuk menyatakan posisi sebagai oposan pemerintah.

Sehingga dalam alam demokrasi kritisisme seharusnya diaminkan sebagai hal yang biasa, ketidakdewasaan kita di dalam berdemokrasilah yang kadang memandang perbedaan sikap politik sebagai sebuah momok yang menakutkan, tentu watak pemikiran seperti ini tidaklah baik bagi kesehatan tubuh demokrasi kita.

Perbedaan adalah niscaya dalam demokrasi, perbedaan pandangan dan sikap politik seharusnya dikelola dengan baik lewat keintiman diskusi dan aktivitas-aktivitas dialogis yang melibatkan rasionalitas pikiran dan argumentasi bukan tendensi atau fanatisme pribadi.

Pemerintah harus lebih membuka diri dan tampil apa adanya, di dalam menyusun produk kebijakan misalnya, tranparansi mutlak dibutuhkan, biarkan masyarakat melihat hasil kerja wakil-wakilnya, biarkan aktivis mahasiswa.

Kaum cendekia dan masyarakat sipil membedah produk pikiran yang dihasilkan oleh otak-otak kekuasaan, sehingga mereka dapat mengukur berbagai warna tendensi dan kepentingan yang coba dilegitimasi untuk diperjuangkan di lapangan.

Demokrasi harus mulai melahirkan dialektika yang tranformatif, bukan lagi konflik-konflik normatif yang hanya akan menumbuhkembangkan arogansi struktural.

Negara harus membiasakan diri membaca berbagai percakapan dalam masyarakat, serta tidak usah sok tahu dan merasa paling benar dengan kondisi masyarakat. Percakapan masyarakat adalah percakapan yang jujur dan sehat.

Pembicaraan tentang kondisi aktual negara, jangan coba-coba penggal lidah mereka hanya demi menjaga tubuh kekuasaan yang sementara, polarisasi pasca Pemilu, 17 April 2019 adalah peristiwa monumental dalam sejarah perpolitikan Indonesia.

Bukan saja karena Pilpres yang diadakan serentak dengan Pileg untuk kali pertama tetapi dampak sosial yang juga ditinggalkan oleh pesta demokrasi akbar itu, sebut saja polarisasi yang semakin kronis, sejatinya proses ini telah dimulai jauh-jauh hari sebelum pemilu.

Riak emosi yang memforsir banyak tenaga dan pikiran, ucapan kebencian dilemparkan dimana-mana, luka-luka lama terbuka, permusuhan bahkan dibirokratisasi dengan wajah yang elegan.

Para pasangan calon bergantian tampil memberikan asupan moral dan etika politik jauh lebih aktif dari penyelenggara pemilu dan partai politik, namun kebencian terlampau masif diproduksi untuk menjatuhkan lawan, polarisasi tak lagi mampu dielakkan.

Tentu kita tidak akan berpangku tangan dan menutup mata untuk melihat kedepan, seruan rekonsiliasipun berdatangan, Muhammadiyah mempelopori ajakan positif tersebut sehari setelah terlaksananya pesta demokrasi.

Organisasi islam modern itu menyakini potensi rukun masyarakat Indonesia lebih besar ketimbang potensi disintegrasinya, karenanya dibutuhkan duduk bersama, mengeratkan persaudaraan dengan narasi-narasi persatuan dan kebangsaan.

Bukan hanya para tokoh nasional, aktivis dan kaum cendekia harus terlibat di dalam upaya mendinginkan situasi yang ada sembari tetap mengawal hasil pemilihan umum yang beberapa hari lagi akan diumumkan.

Demikian bulan ramdhan bisa dijadikan momentum untuk nasihat-menasihati demi menjaga kerukunan, persatuan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Masa depan Indonesia tidak boleh sampai digadaikan untuk kepentingan perut kekuasaan semata.

Penulis: Taufiqurrahman, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

*Tulisan Tersebut Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis.