OPINI, Suara Jelata—“Bang, saya tadi diskusi sama salah seorang senior, semacam proses dialektika sih. Disayangkan ujungnya saya dicap tidak beretika”.
Kalimat di atas merupakan curahan hati salah seorang adik tingkat di Kampus. Saya menilai beliau memiliki kapasitas keilmuan yang mempuni dalam kajian ilmu-ilmu sosial.
Hal itu dibuktikan ketika saya berdiskusi dengannya. Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan dari dia. Meskipun tingkatan semester yang dia jalani masih jauh di bawah saya.
Patut dibenarkan bahwa dalam pengetahuan semestinya tak boleh dilekatkan istilah senioritas. Sebab senior dan junior dalam taraf pengetahuan harus ditanggalkan.
Yang menjadi pembeda ialah siapa yang tahu lebih dulu dan sebaliknya. Tukar tambah pikiran berjalan dalam konteks ini.
Kata senioritas dalam dinamika kampus memanglah suatu hal yang lumrah karena meletakkan narasi “siapa yang lebih dulu masuk kampus”.
Sepakat dengan kata itu, tetapi patut dicoret jika kata itu telah masuk dalam ruang-ruang akademik yang spektrumnya pengetahuan.
Karena meski senior yang menganggap dirinya lebih dulu masuk kampus, jika pengetahuannya diuji dalam proses dialektika dan memberikan jawaban dengan narasi sentimen bukan dengan argumentasi logis-rasional berdasarkan buku bacaan yang mereka baca, maka pendengar juga akan menyimpulkan sejauh mana pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang bernama senior itu.
Terlihat miris, jika kata ‘senior’ menjadi upaya terakhir yang mampu mendiskreditkan ‘juniornya’ hanya karena persoalan siapa yang lebih dulu masuk kampus.
Padahal kampus dihadirkan dalam satu negara agar terjadi proses ekstraksi pengetahuan oleh masyarakat kampus yang implikasinya akan diejewantah dalam kehidupan sosial.
Senior yang hanya mengunggulkan kata “saya lebih dulu masuk kampus” jika ditafsirkan akan bernarasi “yang lebih dulu masuk kampus mutlak tahu segala sesuatu”.
Hal itu justru membahayakan proses dialektika berbasis pengetahuan, menegasikan pengatahuan baru yang diketahui oleh orang lain. Tukar tambah pikiran menjadi terhenti akibat tendensi senioritas.
Tahun 2015, sedikit cerita tentang pengalaman saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus, dan berdinamika di dalamnya.
Satu hari ketika masih berada di semester satu. Saya diajarkan oleh salah seorang senior bahwa “kita sebagai mahasiswa harus berupaya mendebat dosen di ruang-ruang kelas, cari celah dalam tiap argumentasi yang dipaparkan dosen agar ada proses dialektika terhadap satu permasalahan yang didiskusikan”.
Kata itu semacam doktrin yang ditanamkan oleh senior kepada saya agar melawan budaya feodal dalam pengetahuan.
Karena sejatinya pengetahuan seseorang tak boleh diciptakan sekat hanya karena persoalan siapa yang memiliki gelar akademik dan yang masih berupaya meraih gelar akademik.
Hal itu semestinya juga diberlakukan kepada senior ketika berdiskusi dengan juniornya dengan menghilangkan budaya feodal dalam tukar tambah pengetahuan. Bukankah kita harus adil dalam pikiran dan perbuatan?
Sebagai upaya proporsional, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyetarakan semua senior di kampus dengan tendensi sentimen, bukan didasarkan argumentasi terhadap pengetahuan.
Masih banyak senior-senior di kampus yang lebih produktif jika berdiskusi suatu masalah sosial yang didasarkan pada dalil-dalil yang logis-rasional. Agar proses dialektika dan ektraksi pengetahuan itu berjalan.
Juga harus diakui bahwa jika seseorang telah masuk dalam dunia kampus, budaya senioritas akan ditanamkan dalam benak mahasiswa baru bahwa menghargai senior diharuskan, entah tujuannya apa dan untuk siapa silakan ditafsirkan sendiri.
(Penulis: Aslang Jaya, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, UINAM)