Makassar, Suara Jelata – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan membuka catatan akhir tahunnya dalam sebuah konferensi pers pada Selasa, 31 Desember 2019.
Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan bahwa dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, terdapat 20 yang terkena dampak bencana ekologis.
Bencana yang sering dirasakan oleh rakyat Sulsel yakni Banjir, Abrasi, Kebakaran hutan, Longsor dan Angin Puting Beliung.
“Dari 6 jenis bencana ekologis Sulsel, yang paling sering dirasakan rakyat adalah angin puting beliung sebanyak 40 kali atau setara dengan 46,5% dari 80 kejadian bencana ekologi sepanjang 2019,” katanya.
Disusul dengan banjir sebesar 29,1%, tanah longsor 9,3%, kebakaran hutan 7,0%, kekeringan 5,8% dan terakhir abrasi/gelombang air laut sebesar 2,3 % dengan jumlah korban dari bencana ekologis ini sebanyak 1.032.852 jiwa.
“Hal ini disebabkan eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang berlebihan dalam meraup keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup rakyat,” tutur Al Amin.
Rentetan bencana ekologis Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun semakin meningkat, “Sepanjang sejarah Sulsel, bencana ekologis terparah ada di bulan Januari 2019 yang menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun non materil,” pungkasnya.
Lanjut, Al Amin membeberkan bahwa kerugian secara meteril dari bencana ekologis ini kebanyakan ditanggung oleh masyarakat sendiri dengan nilai kerugian sebesar 2,3 trillun rupiah atau setara dengan 25% anggaran pendapatan dan belanja daerah (APDB) Sulsel, atau setara dengan seluruh jumlah biaya untuk pendidikan di Sulawesi selatan.
Hal ini terjadi disebabkan jumlah tutupan hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang di Kabupaten Gowa hanya sebesar 16,82 %, seharus luas tutupan hutan sebagai catchment area atau daerah resapan air 30 % dari luas DAS Jeneberang. Bencana banjir ini menyasar di beberapa kabupaten/kota di Sulsel seperti, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto,” terangnya.
Walhi Sulsel menilai bencana ekologis di atas, sampai detik ini belum ada perhatian serius Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.
“Seharusnya fakta ini menjadi landasan pemerintah untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lingkungan yang sudah terlanjur rusak. Berdasarkan uraian ini, pemerintah Sulsel perlu membuat strategi baru dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan menyelamatkan hidup rakyat dengan mereview kembali semua perizinan yang berpotensi merusakan lingkungan dan keselamatan hidup rakyat,” pungkasnya.
Al Amin menekankan bahwa jika hal ini tidak dilakukan secapatnya, bencana ekologis akan tetap ada.
“Terakhir, yang ingin saya katakan bahwa tidak ada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di tengah kerusakan lingkungan hidup. Artinya apa, bahwa jika kerusakan lingkungan hidup terus terjadi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak akan pernah ada. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan ada jika lingkungan hidupnya baik,” kunci Direktur Walhi Sulsel. Rabu, (1/1/20).