OPINI, Suara Jelata— Saat ini, penyebaran Covid-19 sebagai pandemi atau wabah penyakit bisa dikata menduduki peringkat pertama sebagai hal yang paling ditakuti oleh sebagian kalangan umat manusia.
Sehingga dengannya, banyak kebijakan ataupun aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menekan penyebaran Covid-19 tersebut secara signifikan, baik pemerintah di tingkat pusat, maupun di daerah.
Salah satu bentuk kebijakan yang paling sentral ialah gerakan sosial distancing sebagai bentuk upaya dalam mengisolasi diri agar dapat meminimalisir kontak fisik dengan sekitar, sehingga mampu memperkecil peluang tersebarnya wabah tersebut secara meluas.
Akan tetapi, sebelum jauh masuk ke dalam ranah praktik akan gerakan social distancing yang berwujud dengan tagar #Dirumah Aja dan lainnya, kita mesti melihat apa dampak yang akan terjadi dibalik proses sosial distancing tersebut. Tak terkecuali di sektor ekonomi.
Covid-19 dengan kebijakan pemerintah sebagaimana kita ketahui seperti social distancing, tentu menghendaki adanya sebuah pembatasan terhadap aktivitas masyarakat. Hal ini menyebabkan, hampir semua sektor ekonomi berubah.
Misalnya di sektor produksi yang mengalami penurunan kuantitas produksi barang dan jasa. Dimana hal ini terjadi sebab tenaga kerja yang harus bekerja dari rumah, juga karena demand (permintaan) yang berubah dari masyarakat itu sendiri.
Begitupun pada sektor distribusi yang juga terkendala, dimana terjadi pembatasan arus manusia yang keluar dan masuk ke dalam negeri, juga antar daerah. Terlebih pada sektor konsumsi, dikarenakan banyaknya barang dan jasa yang akhirnya tidak diminati masyarakat. Kecuali di bidang pangan dan sektor kesehatan yang melonjak drastis.
Hal tersebut tentu mempunyai efek yang akan menghantam beberapa kalangan. Pertama ialah kalangan miskin, yang secara jelas akan terkena imbasnya paling parah. Kedua adalah kalangan menengah, yang dimana juga akan rentan menjadi miskin ketika sumber penghasilan mereka hilang. Sedangkan kalangan atas, tentunya akan cenderung aman. Sebab mereka bisa bertahan dalam situasi krisis ini selama berbulan-bulan.
Disini, dapat kita lihat bahwa Covid-19 ini semakin menunjukkan jurang yang tajam antara golongan masyarakat. Juga akan nampak jelas bahwa ketika arus ekonomi berhenti, maka hanya segelintir orang dengan kemampuan ekonomi kuat yang dapat bertahan.
Sehingga yang paling kena imbasnya adalah UMKM dan usaha jasa, setelah itu disusul oleh tenaga buruh yang terancam dipecat. Inilah dampak yang terjadi pada kehidupan masyarakat secara real.
Kebijakan Ekonomi
Sialnya, sebelum Covid-19 ini masuk ke Indonesia, para pejabat istana tidak mendengarkan anjuran ilmuwan medis untuk menutup dan membatasi arus WNA yang masuk ke Indonesia. Akan tetapi, justru menghadirkan beberapa kebijakan yang sifatnya kontradiktif. Seperti memberikan insentif bagi pariwisata dan pemberian diskon harga tiket pesawat, serta kebijakan-kebijakan lain yang ujung-ujungnya adalah duit masuk.
Selain itu, setelah Corona masuk, pemerintah jelas nampak menunjukkan ketidaksiapan dalam menghadapi persoalan yang serius tersebut. Akibatnya, masyarakat menjadi panik setelah mendengar kabar ataupun mendapati data sendiri dari sosial media tentang Covid-19.
Kepanikan ini mendorong beberapa hal, seperti Panic Buying, yaitu pembelian dalam skala besar terhadap banyak barang pokok. Sehingga harga cenderung tidak stabil karena permintaan melonjak, lahirlah inflasi.
Kemudian yang kedua ialah penimbunan alat kesehatan. Dimana orang-orang kurang teredukasi dengan baik, akhirnya permintaan alat kesehatan melonjak. Disini, orang-orang ‘brengsek’ yang punya modal besar bisa dengan leluasa untuk memborong alat kesehatan untuk dijual dengan harga yang kurang ajar.
Akhirnya, barang menjadi langka yang cenderung diikuti oleh harga yang mahal. Mirisnya, dalam kondisi demikian, pemerintah juga tidak memberi sanksi yang tegas untuk mengatasi hal tersebut.
Sehingga buntutnya, arus ekonomi barang kebutuhan masyarakat menjadi tersendat dan tidak tersalurkan secara merata, maka muncullah kesenjangan. Ironis!
Universal Basic Income
Melihat hal ini terjadi, muncullah berbagai usulan. Salah satunya ialah intervensi ekonomi lewat Universal Basic Income. Universal Basic Income ialah sistem intervensi ekonomi melalui kebijakan fiskal dengan memberikan dana tunai kepada warga, baik semua kalangan maupun beberapa kalangan saja.
UBI ini, bisa mengatasi dan didasari dari 3 arah:
1. Masalah kemiskinan, membantu orang-orang miskin untuk bisa bertahan hidup dengan layak.
2. Masalah Revolusi Industri 4.0, memberi jalan keluar jika banyak kelas sosial tak berguna (useless class) akibat digantikan oleh robot.
3. Masalah lingkungan, membuat lingkungan bisa lebih terjaga, karena aktivitas ekonomi tidak terlalu ekspansif.
Secara umum, UBI ini sulit diterima karena menuai banyak perdebatan. Namun, di masa krisis pandemi ini, usulan UBI bisa lebih diterima dengan dalih ekonomi mandeg.
Penulis: Dzulfikri Azhary, Mahasiswa Asal Sinjai Barat
Tulisan tersebut di atas merupakan tanggung jawab penuh penulis















