OPINI, Suara Jelata— Bagaimana masa depan sektor pajak dengan adanya pandemi Covid-19. Untuk menjawab hal ini jelas tidak mudah karena kita terbentur oleh dua pertanyaan lainnya.
Seberapa lama pandemi ini akan berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi. Kedua pertanyaan tersebut jelas akan menentukan prospek ekonomi tahun ini dan tahun yang akan datang.
Kita berada dalam bayang-bayang double economic shock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.Terganggunya rantai suplai global, pembatasan sosial, serta kelancaran cash flow akan berpengaruh dari sisi penawaran.
Sementara itu, ancaman gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan berkurangnya penghasilan harian memengaruhi sisi permintaan. Durasi dan kedalaman dampak pandemi Covid-19 ini juga akan menentukan jenis dan besaran instrumen fiskal pemerintah di banyak negara.
Masalahnya, bagaimana daya tahan anggaran pemerintah. Pengalaman berbagai krisis sebelumnya-mulai dari depresi besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008 – memperlihatkan bagaimana kebijakan fiskal yang ekspansif kerap jadi opsi yang diambil oleh berbagai negara.
Belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak adalah jurus utamanya. Tujuannya, menyelamatkan ekonomi. Penerimaan pajak umumnya bakal terkena dua pukulan telak. Perlambatan ekonomi secara natural mengurangi basis pajak.
Sementara, Tax Expenditure, sebagai wujud pajak yang bersifat regulerend akan banyak digelontorkan. Imbasnya, tax ratio turun drastis. Data dari World Bank menunjukkan bahwa terdapat penurunan rata-rata tax ratio dunia sekitar 1,5% setelah 2008.
Penting untuk dicatat, penurunan yang tidak ‘bombastis’ tersebut diakibatkan oleh karena faktor penyebutnya (PDB) yang menyusut.Secara kumulatif, defisit anggaran umumnya membengkak. Lihat saja Amerika Serikat.
Pada periode 2007-2009, defisit anggaran hanya sebesar 1% dari PDB. Setelahnya, meningkat hingga -10% (Stupak, 2019). Kebijakan fiskal ekspansif bukan tanpa risiko. Selain risiko utang, suku bunga, dan tingkat inflasi bisa juga turut terkerek naik.LANTAS, bagaimana the future of tax? Untuk menjawabnya.
Perlu kita garisbawahi bahwa langkah yang diambil pemerintah pada jangka pendek sejatinya akan berpengaruh bagi postur fiskal jangka menengah-panjang. Relaksasi saat ini mungkin berimbas bagi pemungutan eksesif di masa depan.Selain itu, kondisi pajak pascaterjadinya pandemi Covid-19 juga bisa kita prediksi dengan belajar dari kondisi pajak pascaterjadinya krisis ekonomi 2008. Dari kedua hal tersebut, terdapat prediksi.
Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Dalam rangka menghadapi krisis, pada jangka pendek akan terdapat kebijakan fiskal yang ekspansif yang berakibat bagi defisit anggaran. Sebagai ilustrasi, pasca krisis 2008 rata-rata defisit anggaran negara anggota OECD meningkat 7%, sedangkan di Uni Eropa bertambah 5% (2009).
Kedua, postur penerimaan dan kebijakan pajak. Saat krisis 2008, PPN dan PPh karyawan menjadi sumber penerimaan pajak yang relatif stabil di banyak negara (Brondolo, 2009). Sementara itu, PPH badan yang notabene lebih sensitif terhadap goncangan ekonomi, umumnya merosot drastis.bayang-bayang gelombang PHK bisa berdampak signifikan baik atas PPN maupun PPh orang pribadi.
Terlepas dari ancaman tersebut, pembaharuan kebijakan PPN sepertinya akan jadi agenda penting pascaterjadinya pandemi.
Sama seperti krisis keuangan 2008, pandemi Covid-19 juga kelihatannya akan membuat suara kelompok masyarakat semakin diperhitungkan. Akibatnya, tuntutan para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam agenda reformasi pajak akan semakin banyak (Lang, 2016).
Walau lebih menjamin akseptabilitas, reformasi pajak yang berupaya mengakomodasi berbagai kepentingan bisa menghasilkan sistem pajak yang lebih kompleks.
Penulis: Riska Novianti, Jurusan Ekos IAIM Sinjai
Opini ini diluar tanggung jawab redaksi