DAERAHNews

OPINI: Produk Kebijakan di Masa Pandemi PPKM, Dilihat dari Pandangan Yuridis dan Sosiologis

×

OPINI: Produk Kebijakan di Masa Pandemi PPKM, Dilihat dari Pandangan Yuridis dan Sosiologis

Sebarkan artikel ini

OPINI, Suara Jelata— Setahun lebih Indonesia berjibaku melawan virus kecil tidak kasat mata, yang biasa disebut dengan covid-19 atau corona virus disease 2019, tidak hanya di Indonesia, di negara lainpun juga masih berjibaku melawan covid-19 tersebut.

Berdasarkan data dari ISO bahwa sebanyak 209 negara di dunia masih merasakan perjuangan yang sama dalam upaya penanganan pandemi tersebut. Kasus Pertama di Indonesia terjadi pada hari Senin, tepatnya tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif covid-19 pertama di Indonesia.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Sejak hari itu, banyak warga negara Indonesia didapati positif covid-19 setelah dilakukan tracking dan pengetesan oleh para tenaga medis.

Ketika beberapa negara seperti Spanyol, Italia, Prancis dan lain sebagainya melakukan pembatasan wilayah secara total yang disebut dengan istilah lockdown sebagai usaha untuk menekan angka kasus positif covid-19, Pemerintah Indonesia sendiri berupaya untuk menekan jumlah penderita yang terinfeksi covid-19 tersebut dengan mencoba berbagai kebijakan yang tersedia dalam undang-udang.

Diantaranya seperti pada awal-awal masa pandemi, di mana pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang disingkat dengan (PSBB), Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL) hingga PSBB transisi.

Namun, penerapan daripada PSBB, PSBL dan PSBB transisi tersebut tidak efektif, sehingga pemerintah kembali membuat gagasan yang terbaru dengan sebutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat selanjutnya yang disingkat dengan (PPKM).

Dalam pemberlakuan PPKM tersebut, kebijakan ini didasarkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.

Melihat pemberlakuan PPKM tersebut yang didasarkan pada Inmendagri nomor 1 tahun 2021 tersebut merupakan suatu prosedur yang cacat secara hukum atau tidak memiliki suatu kekuatan hukum yang jelas. Hal itu disebabkan karena PPKM tersebut tidak terdapat pada UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pengaturan tentang penekanan suatu pandemi telah diatur dan secara gamblang tertera pada UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU nomor 6 tahun 2018 tersebut, hanya mengenal tentang karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Sehingga apabila dikaitkan pada PPKM yang tidak dapat pengaturannya pada peraturan perundang-undangan tersebut, akan berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Pada kedudukan Intruksi Menteri dalam sistem ketatanegaraan merupakan jenis peraturan kebijakan atau yang biasa disebut dengan Beleidsregels. Peraturan kebijakan merupakan sejenis peraturan seperti Instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain. Sehingga secara subtansi Peraturan Kebijakan (Beleidsregels) tersebut, hanya memuat pedoman-pedoman pelaksanaan, petunjuk teknis hingga aturan umum lainnya, sehingga apabila dikaitkan dengan intruksi menteri dalam negeri yang telah dibentuk, seharusnya hanyalah berlaku sebagai peraturan kebijakan.

Pada pasal 8 UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa menyebutkan yang dinamakan peraturan perundang-undangaan adalah peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang dibentuk melalui undang-undang atau pemerintah atas perintah undag-undang, DPRD, dan Kepala Daerah, serta Kepala Desa atau yang setingkat.

Secara terminologi, maksud daripada pasal 8 tersebut bersifat regelling atau suatu kebijakan bersifat mengatur, bersifat umum baik subtansi/materi ataupun subyeknya. Pada pasal 8 UU nomor 12 tahun 2011 hanya peraturan menteri sajalan yang memiliki kedudukan hukum yang bersifat Regelling.

Mengutip pendapat dari Maria Farida yang mengatakan dan menyepakati bahwa Instruksi Menteri tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu peraturan perundang-undangan, karena disebabkan suatu intruksi bersifat individual dan kongkrit serta harus terdapat hubungan atasan dengan bawahan secara organisatoris dan dalam sifat norma hukum peraturan perundang-undangan selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku secara terus-menerus.

Seharusnya pemerintah disini dapat menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, karena UU tersebutlah yang menjadi dasar dalam penanggulangan wabah pandemi yang terjadi di Indonesia.

Sebelum pandemi melanda negeri tercinta Indonesia, lembaga yang berwenang dalam hal ini DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan penuh pembuat undang-undang yang disetujui oleh Presiden telah mengesahkan suatu produk kebijakan yang sebenarnya dapat diterapkan pada saat-saat/waktu yang darurat kesehatan seperti pada tahun-tahun sekarang.

Produk kebijakan tersebut merupakan trobosan baru yang dihasilkan sebelum suatu pandemi melanda, bahkan para anggota dewan atau pemangku yang memiliki otoritas membuat undang-undang dapat berpikir maju, sehingga efek dari pembentukan undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang kerantinaan kesehatan yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Agustus 2018 dan diundangkan pada tanggal 8 Agustus2018 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 nomor 128.

Namun, meskipun UU tersebut telah disahkan dan diundagkan sebagai dasar peraturan untuk sewaktu-waktu terjadi suatu pandemi yang memerlukan kekarantiaan, tetapi hal tersebut oleh pemerintah saat ini tidak dipakai sebagai dasar aturan untuk penerapan pandemi covid tersebut, padahal pandemi saat ini yang sedang terjadi hampir semuanya telah diatur tata cara penanganan suatu pandemi pada UU tersebut.

Padahal, sebelum Inmendagri tentang PPKM diterbitkan, UU tersebut telah mengeluarkan suatu kebijakan PSSB yang mana suatu aturan turunan dari UU kekarantianaan kesehatan.

Secara formil, pembentukan aturan dalam hal pencegahan suatu wabah pandemi yang melanda di Indonesia haruslah berpedoman pada UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam suatu perencanaan/rancangannya tidak terjadi suatu tumpah tindih aturan atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti bunyi asas pada hukum yang mengatakan lex superiori derogat lex inferiori.

Selain itu, merujuk pada UU nomor 12 tahun 2011 disebutkan, bahwa peraturan perundang-undangan di luar Undang-undang dan Peraturan Daerah (Perda) tidak dapat diperkenankan menerapkan sanksi pidana.

Apabila kita mencoba melihat pada UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, disana telah diatur juga tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana salah satunya dari tanggung jawab tersebut yang telah diperintahkan oleh undang-undang nomor 6 tahun 2018 mengatakan, bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan, sumber daya yang diperlukan pada penyelenggaraan karantina kesehatan.

Sehingga apabila ditafisirkan secara gramatikal, maksud daripada UU tersebut adalah pemerintah baik pusat dan daerah wajib memenuhi segala kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat di wiliayah yang dilakukan suatu karantina kesehatan.

Sedangkan apabila kita bandingkan dengan intruksi menteri tersebut yang menghasilkan kebijakan PPKM, tidak dicantumkannya suatu tanggung jawab pemerintah baik pusat dan daerah untuk pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat.

Sehingga pada akhirnya antara das sollen dan das sein, terjadi suatu miskomunukasi yang melibatkan para aparat yang melaksanakan kewajiban jabatannya dengan masyarakat yang ada dibawah yang memperjuangkan hak ekonominya agar dapat hidup dengan layak.

Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, hampir dalam semua pemberitaan baik surat kabar atau pun media televisi dan juga online selalu tentang pemberitaan susahnya pendisiplinan masyarakat.

Secara sosiologis, masyarakat di Indonesia yang menjungjung tinggi adat ketimuran yang selalu menerapkan prinsip gotong-royong pada setiap kelompok masyarakat, hal ini sulit diubah hingga pada akhirnya apabila dibenturkan pada suatu kebiasaan seperti kebijakan PPKM tersebut, akan mengalami suatu gesekan sosial yang terjadi dalam penerapannya selain daripada aturannya yang secara yuridis telah tidak memiliki suatu alas hukum yang jelas.

Menurut hemat penulis, seharusnya dalam pemberlakuan pencegahan wabah pandemi tersebut dapatlah menggunakan peraturan-peraturan yang telah ada dan telah disahkan oleh lembaga yang berwenang peraturan tersebut adalah UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terlebih lagi dalam peraturan tersebut telah secara kongkrit menjelaskan tentang segala hal dalam suatu penanganan wabah pandemi hingga tanggung jawab serta hak dan kewajiban pemerintah baik pusat ataupun daerah.

Meskipun yang dipilih oleh pemerintah adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan diangap pilihan yang paling tepat dan dianggap efektif oleh pemerintah, sepatutnya sebagai negara hukum segala kebijakan baru yang diterbitkan oleh pemerintah selayaknya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PPKM merupakan suatu produk kebijakan yang cacat secara formil, karena pemberlakuannya telah melanggar pasal 8 ayat (2) undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun secara materil, PPKM tersebut tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena secara materil PPKM tersebut memiliki kemiripan dengan PSBB yang diatur dalam UU nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan PP. nomor 21 tahun 2020.

Penulis: Deny Noer Wahid, Kader HMI Komisariat Hukum UMM sekaligus Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Berlamat di Dusun Sumber Bhakti, Desa Ketapang Barat, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang.