NewsOpini

Fenomena Youtuber di Era Digital

×

Fenomena Youtuber di Era Digital

Sebarkan artikel ini

Suara Jelata—Perkembangan media komunikasi yang di era digital berimplikasi signifikan dan nyata terhadap kehidupan manusia di dunia termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah perilaku warga yang ramai-ramai menjalankan peran mereka sebagai penyampai informasi di negeri ini.

Warga tidak lagi semata-mata menjadi komunikan dari sebuah informasi seperti pada era kejayaan media tradisional (surat kabar, radio, dan televisi) masih merajai komunikasi massa.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Mengutip teori Herbert Marshall McLuhan –yang puluhan tahun silam sudah meramalkan– tentang Global Village, bahwa di era itu, komunikasi antar manusia tak lagi dibatasi letak geografis, dan orang-orang dapat bertukar informasi tanpa terkendala jarak.

Menurut ilmuan komunikasi asal Kanada itu, bila komunikasi manusia secara personal polanya face to face, dan dalam komunikasi massa menjadi one to many, maka dalam komunikasi melalui media internet akan berubah menjadi many to many. Artinya, semua orang memiliki kesempatan yang sama, yakni dapat berperan sebagai penyampai pesan sekaligus penerima pesan.

Tak ayal, teori McLuhan itu pun terbukti. Kita dapat melihat faktanya di media sosial sekarang ini, orang-orang dengan mudah berkomunikasi menggunakan pesan teks, audio, bahkan melalui sambungan video.

Di Facebook, misalnya, penggunanya dapat menulis status kemudian dengan cepat direspon oleh netizen lainnya. Demikian halnya pada aplikasi media sosial yang lain, seperti Instagram, Twitter, Wathsapp, dan Telegram. Interaksi antar manusia berlangsung tanpa dibatasi jarak.

Pada portal-portal media online yang kian menjamur, setiap konten beritanya pun dapat ditanggapi oleh publik. Komentar-komentar pembaca begitu beragam, ada yang mendukung, setuju, tidak setuju, bahkan sering kita jumpai narasi yang mencibir atau tidak percaya dengan berita yang disajikan.

Dalam konteks seperti yang disebutkan McLuhan di atas, sikap manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya memang sangat dipengaruhi oleh teknologi.

Dengan menggunakan berbagai macam aplikasi, pertukaran informasi melalui internet menjadi semakin mudah, meskipun isi pesannya tak jarang menjadi sesuatu yang tidak bermutu, bahkan kadang hanya sebuah kepalsuan.

Di internet, kita sering menemukan pemberitaan yang tidak berkualitas. Seperti isi berita yang hanya meneruskan status dari akun gosip yanga ada di Instagram. Sementara, dalam isu-isu politik, pun tak jarang kita melihat adanya konten yang berbau provokatif bahkan hanya hoax belaka.

Lantaran warga bisa berperan sebagai pewarta dengan hanya berbekal sebuah telepon cerdas, maka banjir informasi pun tak dapat dihindari. Entah informasi yang ada di internet itu benar atau salah, yang pasti, kabar apa pun ada di sana dan tak terhitung jumlahnya.

Fenomena warga ramai-ramai menjadi youtuber merupakan salah satu “penyumbang” banjirnya informasi di internet. Disebabkan kabar tentang penghasilan yang konon dapat diperoleh cukup dengan merekam video, mengupload di YouTube, lalu menunggu gaji masuk dari Google. Meskipun nyatanya, ada syarat yang harus dipenuhi oleh setiap konten kreator.

Diketahui, YouTube yang lahir sejak tahun 2005 memang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Perkembangannya semakin melejit setelah diakuisisi oleh Google, warga semakin banyak memilih menjadi youtuber.

Mereka mencoba peruntungan dengan cara ikut mengelola akun YouTube sebab terinspirasi kesuksesan sejumlah youtuber terdahulu, misalnya Atta Halilintar, Baim Wong, Ria Ricis, dan lainnya. Walaupun sebenarnya, menjadi youtuber sukses bukan perkara mudah. Prosesnya tentu tidak sekedar merekam video, mengedit, mengupload konten, lalu berharap transferan gaji dari Google.

Pengamat media sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Dandi Supriadi mengatakan, deretan nama-nama yang sukses di youtube umumnya sudah lebih dulu dikenal publik. Mereka diuntungkan dengan ketenaran namanya sebelum lahirnya YouTube. Hal itulah yang membantu konten kreator mendapatkan jumlah subscriber dan jam tayang dengan cepat.

Menurut Dandi, saat ini pengguna YouTube di dunia lebih dari 2 miliar orang. Paling besar di India, Amerika Serikat, dan Indonesia.

“Pengguna YouTube di Indonesia 93 persen dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai lebih dari 202 juta,” kata Dandi, dikutip dari berita “Apakah Fenomena YouTuber Mengubah Pandangan terhadap Pekerjaan Real?” yang dimuat kompas.com, 27 Oktober 2021.

Melansir datareportal.com, pada 2021 pengguna aplikasi YouTube dari rentang usia 15 hingga 64 tahun ada sebanyak 93,8 persen dari total pengguna internet di Indonesia. Angka tersebut bila dikalkulasikan setara dengan 190 juta orang.

Sementara, berdasarkan riset yang dilakukan Hootsuite dan We Are Social per Januari 2021, pengguna internet berusia 16-24 tahun paling banyak menghabiskan waktunya menonton video online di perangkat mereka.

Tercatat, 98,5 persen dari 181,9 juta populasi memilih beraktivitas di internet dengan menonton video online atau streaming. Artinya, 179,1 juta orang di Indonesia telah memanfaatkan internet untuk menonton video online.

Lalu bagaimana agar sebuah channel YouTube dapat dimonetisasi? Syaratnya antara lain jumlah subcriber 1000 dan jam tayang minimal 4000 jam. Itulah yang menyebabkan banyak channel yang belum dimonetisasi meskipun sudah dikelola selama bertahun-tahun.

Apalagi, syarat 1000 subcriber dan 4000 jam tayang itu harus dicapai dalam waktu 12 bulan atau satu tahun –bila tidak berhasil, boleh jadi channel kita tidak akan pernah dimonetisasi.

Terlepas dari fenomena banyaknya pengelola channel youtube yang masih menunggu monetisasi dan atau gagal monetisasi, fakta yang ada di hadapan kita sekarang adalah bahwa geliat warga yang ramai-ramai menjadi youtuber memberi dampak terhadap banjirnya informasi (audio visual) di internet. Kita tinggal memilih konten apa yang kita dibutuhkan.

Bila dulu berita audio visual hanya dapat ditonton melalui siaran televisi, sekarang ini kita justru dapat menyaksikan konten-konten berita yang tak terbatas di YouTube dengan hanya menggunakan perangkat android –demikian halnya berita media online yang setiap saat mengabarkan berita dari seluruh penjuru dunia.

Singkatnya, internet telah diterima sebagai bagian dari perkembangan teknologi yang menciptakan beragam kemungkinan yang memudahkan keseharian manusia.

Namun selain memudahkan kehidupan manusia, internet juga tentu memiliki efek negatif. Karenanya, di era digital ini sebaiknya kita tidak menjadi pengguna internet yang “latah”. Berjubel aplikasi yang dengan mudah didownload menggunakan smartphone harus dimanfaatkan secara bijak.

Kita harus membangun optimisme untuk terus hidup berdampingan dengan internet pun dengan cara-cara yang baik. Sebagaimana Alvin Toffler dalam karyanya The Third Wave, tahun 1980, yang jauh hari sudah mengusung optimisme terhadap perkembangan teknologi dan efeknya terhadap peradaban manusia.

Alvin Toffler membagi era peradaban manusia menjadi tiga bagian. Era pertama disebutnya sebagai Gelombang Pertama yang ditandai dengan sosiosfer yang bertumpu pada pertanian dan teknologinya yang masih tradisional.

Lalu era Gelombang Kedua dimana lahirnya pusat-pusat industri yang memproduksi barang kebutuhan manusia secara massif. Penerapan teknologi pada Gelombang Kedua, menurut Toffler, banyak memberi dampak negatif karena terjadi kesenjangan antara produsen dan konsumen.

Sedangkan pada era Gelombang Ketiga dijelaskan sebagai kebalikan dari era Gelombang Kedua. Kehidupan masyarakat ditandai oleh teknologi informasi cenderung mengalihkan kerja dari pusat-pusat produksi (sentralisasi) ke lingkungan rumah atau keluarga (desentralisasi). Produksi lebih berorientasi kepada sistem produksi dalam skala kecil (demassifikasi) dengan penekanan pada prinsip prosumer.

Dalam era Gelombang Ketiga, sebagaimana disebutkan Alvin Toffler, teknologi sudah menjadi sarana yang sungguh memanusiakan dunia dan dengan itu pula menopang kualitas hidup manusia.

Warga yang ramai-ramai menjadi youtuber seperti sekarang ini hanya satu dari sekian banyak fenomena budaya baru yang lahir di era digital sebagai dampak perkembangan teknologi komunikasi. Sejatinya, internet selalu digunakan secara bijak dan beretika untuk meningkatkan kualitas hidup kita semua.

Oleh: Muhammad Salih

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Fajar