Suara Jelata. Pada awal bulan Juni lalu di tahun ini, seluruh umat Buddha merayakan perisiwa fenomenal yaitu perayaan Trisuci Waisak yang dipusatakan di pelataran Candi Borobudur. Dharmasanti ritual puncak Trisuci Waisak tersebut diselenggaraan pada malam hari saat detik-detik Waisak pembacaan parita oleh para biksu.
Trisuci Waisak merupakan peristiwa fenomenal dan sangat penting yaitu, memperigati lahirnya Pangeran Sidharta di Taman Lumbini, Pangeran Sidharta mendapatkan penerangan agung di Bodh Gaya, serta Sang Buddha parinibbhana (wafat) di Kusinara dalam usia 80 tahun.
Tidak bisa dipungkiri Candi Borobudur menjadi saksi historis setiap diselenggarakannya upacara suci tersebut. Secara kontekstual tidak dapat dipisahkan antara Candi Borodudur dan tempat peribadatan Waisak yang diselenggarakan rutin setiap tahunnya. Bangunan dan Puncak Trisuci Waisak berkelindan dalam suatu bingkai yang menunjukkan sinergi positif dalam satu pusaran waktu yang datang silih berganti. Seperti halnya cakra manggilingan yang selalu memutari dunia.
Apabila dirunut, relief di Candi Borobudur dominasinya mengisahkan perjalanan hidup Sidharta Gautama dari Kerajaan Kapilawastu dalam mencari tataran spiritual tertinggi untuk mendapatkan penerangan agung. Sebagaimana ajaran Majjhima Patipada yang merupakan jalan moderat yang telah diajarkan Sidharta Gautama kepada seluruh umat di seluruh penjuru mayapada.
Tujuan dari ajaran Majjhima Patipada tersebut tak lain adalah mengajarkan umat manusia untuk konsisten berpegang pada hidup bijaksana, bermoral, dan berkesadaran. Ajaran tersebut juga mengadung pesan mendalam bahwa cara hidup moderat merupakan jalan menuju kesucian.Terlebih dalam kehidupan beragama, sikap hidup moderat adalah sangat penting untuk menjaga keluhuran agama sebagai jalan keyakinan seluruh umat manusia, (Totok Tejamano, 2022).
Karya Monumental
Candi Borobudur merupakan mahakarya budaya karya putra Nusantara yang secara kosmopolitan sudah diakui dunia. Candi ini, diperkirakan dibangun pada abad ke-8, pada masa kejayaan Dinasti Syailendra. Pembangunan candi diperkirakan memakan waktu 75 tahun dan berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan Samaratungga pada tahun 825 Masehi. Suatu karya spektakuler yang melampaui pemikiran manusia pada zamannya. Belum tentu generasi sekarang mampu membuat karya monumental semegah Candi Borobudur yang sampai sekarang berdiri dengan kokohnya di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Mengacu pada konsep kosmologi Buddhis, Candi Borobudur diibaratkan sebagai Meru atau gunung yang menjadi penghubung antara surga dan dunia. Meru ini berdiri di lokasi yang dikelilingi oleh gunung-gunung, laut, dan sungai-sungai besar. Dengan pertimbangan itulah, Candi Borobudur dibangun di lokasinya saat ini, dengan posisi dikelilingi bukit, gunung, dan pegunungan. Yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Sindoro, Tidar, dan Pegunungan Menoreh. Di kawasan tersebut juga mengalir air dari sungai-sungai besar, seperti Sungai Elo dan Progo.
Candi Borobudur dibangun bukanlah tanpa tujuan. Pada setiap sudut Candi Borobudur terdapat ornamen yang menggambarkan nilai luhur kemanusiaan. Pada dasarnya, candi ini merupakan candi yang kental dengan ajaran Buddha. Dari objek yang ada di kompleks candi, secara keseluruhan menceritakan tentang hakikat kehidupan manusia. Ditelisik dari bangunan candi tersebut, memuat pesan moral sebagai refleksi diri yang semuanya tervisualisasikan dalam estetika reliefnya.
Pada dasarnya relief adalah suatu seni pahat atau ukiran tiga dimensi pada media batu. Relief biasanya terdapat pada bangunan candi, monumen atau prasasti. Ukiran atau pahatan pada relief memiliki arti mendalam. Pada relief terukir dengan indah cerita sejarah masa lampau yang berisi ajaran berharga atau filosofi nenek moyang untuk menjadi pelajaran generasi berikutnya.
Candi Borobudur menjadi istimewa karena adanya 2.672 panel relief. Sejumlah 1.460 panel relief cerita (naratif), dan 1.212 panel relief dekoratif. Relief naratif terdiri atas lima gugus relief, yaitu pertama Relief Karmawibhangga (160 panel). Relief ini tersimpan di lantai dasar Candi Borobudur. Rangkaian relief Karmawibhangga mengisahkan perihal hukum sebab-akibat perbuatan dalam kehidupan sehari-hari manusia yang bersifat universal.
Kedua, Relief Jataka (500 panel). Relief ini tepatnya berada di dinding luar lantai 3. Relief Jataka mengisahkan kelahiran masa lampau Bodhisattwa dalam upaya menyempurnakan kebajikan demi mencapai pencerahan. Ketiga, Relief Avadana (120 panel di lantai 3, dan 100 panel di lantai 4). Dalam Relief Avadana ini berisi kisah-kisah moral yang dapat menjadi tuntunan hidup, seperti kisah Maitrakanyaka.
Keempat, Relief Lalitavistara (120 panel di lantai 3). Detail dalam relief ini terletak di lantai 3 yang berisi kehidupan Buddha dari sebelum masa kelahiran sampai saat pengajaran pertamanya di Taman Rusa. Kelima, Relief Gandavyuha (460 panel). Relief ini berada di lantai 4-6 yang mengisahkan perjalanan tokoh Sudhana menemui para mitra dan guru kebajikan untuk merealisasikan pencerahan akal budi.
Mandala Suci
Dari perspektif filsafat Buddhis, Candi Borobudur adalah sebuah wujud Mandala. Makna leksikal Mandala berarti rumah atau istana. Pada dasarnya Mandala merupakan representasi istana suci atau tempat tinggal Sang Buddha. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa walaupun mandala sangat eksotif dan sangat menyenangkan secara estetis, Mandala memiliki fungsi utama religius, bukan untuk dipandang sebagai karya seni yang dipajang di museum (https://sanghakci.wixsite.com).
Ajaran Mandala diturunkan secara lisan oleh Buddha Sakyamuni lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Dikatakan juga bahwa melihat mandala dapat membantu mengubah arus batin seseorang dengan menciptakan kesan yang mendalam dan kuat akan kesempurnaan batin Sang Buddha. Hasil dari kesan mendalam ini akan membawa individu tersebut merasa lebih welas asih, mawas diri, dan menjadi individu yang lebih baik.
Dari eksplanasi tersebut dapat ditarik tautan benang merah, bahwa Candi Borobudur merupakan museum budaya yang dapat digali makna kedalamannya dari berbagai perspektif. Baik dari sudut pandang religius, pengetahuan arsitektur, kebudayaan, filsafat, dan sebagainya. Terlebih lagi tiap tahun di tempat ini menjadi pusat perayaan Trisuci Waisak yang di dalamnya mengandung makna terkait dengan nilai luhur ajaran kemanusiaan.
Ke depannya Candi Borobudur dengan kolaborasi sinergis antar beberapa pihak, dapat dioptimalkan juga sebagai wisata religi seperti di beberapa negara lain. Dengan demikian, Candi Borobudur dapat dijadikan branding yang di dalamnya mengandung nilai spiritual, bukan hanya sekadar estetika bangunan fisik. (*)
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Kabupaten Magelang