Oleh : Jodi Yudhono
Jakarta, Suara Jelata– Menyimak musik dan puisi yang dibawakan oleh Lab Musik Jakarta, pada Rabu 13 September 2023 di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki Jakarta, saya seperti menyaksikan anak kecil polos yang kadang meracau tentang situasi yang membuatnya tak nyaman, seperti ketidakadilan, kecurangan, Kec ulasan, dll. Di saat lain, dia mengajak kita menikmati hidup apa adanya, tanpa beban, seperti kita menikmati secangkir kopi pahit.
SECANGKIR KOPI PAHIT
Kopi secangkir kopi pahit kopi pahit
Lewat scangkir kopi pahit
(Secangkir kopi pahit, terlupakanlah)
Terlupakanlah beban hidup yg menghimpit
Jauh jauh lamunan tinggi mengawan
melintas bukit dusun lembah dan ngarai.
Keluh keluh hai kawan hatimu rawan
Batin menjerit sakiiiit
Lemah dan lunglai.
Kopi….
Kopi….
rokok keretek
pisang goreng
semanggkok kacang ijo
Menikmati lab musik Jakarta, saya seperti diajak mengapung di udara terbuka tanpa batas. Kadang berujung pada keluasan cakrawala makna. Tapi kadang juga dibenamkan ke comberan yang kelam dan pekat.
Mari kita telisik lebih dulu puisi2 karya Dimas Budi Susilo yang dinyanyikan oleh Lab. Musik Jakarta.
Sama seperti komposisi lagu2 yang diciptakan Budi, puisi2 Budi juga penuh dengan kejutan. Dia tidak berima, tapi penuh personifikasi. Lihatlah pada puisi Ini aku Bawakan Cinta, Budi menulis demikian
“Gumpalan lamunanku yg membeku..
kuseduh kujadikan kopi
Ampasnya kulinting
kujadikan cerutu
biar tak tersisa saripatinya
Dan kemudian kubawa berjalan…
Telusuri hidup
sambil mengunjungimu.”
Lamunan yang notabene kata sifat itu dibendakan oleh Budi menjadi beku, kemudian disedih jadi kopi.
Simak juga puisi ini
APANYA YG MEMBUAT MEREKA MENJADI GILA
…..
Apanya yg membuat mereka menjadi gila
memukuli udara sambil mengancam matahari dan bumi.
Memasang kuda-kuda
menghalau angin
Membiarkan kemanusiaannya terlempar ke tong-tong sampah.
Seekor anjing menangis ketakutan
sadar berada di tempat yg salah
berharap ada malaikat yg turun
menyelamatkannya.
Dan ini tidak terjadi
karena
malaikat pun ikut menangis ketakutan.
Bagaimana mungkin bumi dan matahari merasa terancam, sejak kapan anjing bisa menangis ketakutan lantaran berada di tempat yang salah.
Puisi2 Budi bisa jadi masuk dalam kategori surealisme, sebuah aliran dalam karya seni yang berusaha membebaskan dirinya dari kontrol kesadaran dunia, seperti orang yang bermimpi, segala kemungkinan bisa terjadi
Demikianlah Budi dalam menulis puisi, ia mementingkan aspek bawah sadar dan nonrasional, di luar kenyataan.
Tapi tentu saja. Puisi2 Budi kaya dengan metafora tentang ketidakadilan, kegetiran hidup, juga keriangan khas masyarakat marginal.
Kini saatnya kita membicarakan musik yang disajikan Lab Musik Jakarta.
Ada hal mendasar yang membedakan awal saya mengenal Lab Musik Jakarta pada awal tahun 90an dengan lab musik kini yang menggunakan merek dagang Diapenta.
Awal kemunculan lab musik menggunakan media instrumen bambu tepatnya angklung.
Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu. Angklung sudah terkenal hingga mancanegara dan ditetapkan menjadi warisan dunia oleh UNESCO.
Istilah angklung dalam bahasa Sunda ‘angkleung-angkleungan’ berarti gerakan pemain angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya. Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci yang melambangkan Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan).
Dikutip dari situs Kemdikbud, ada dua tokoh yang berperan dalam perkembangan angklung di Jawa Barat, yaitu Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.
Maaf, saya harus menjabarkan angklung dalam membahas Lab Musik maklumlah, pandangan pertama yang membuat saya jatuh hati pada Lab Musik adalah karena mereka saat itu menggunakan angklung sebagai media berekspresi. Dengan angklung itu pula Lab Musik mampu lepas dari bayang2 role model mereka dalam bermusik, yakni konser rakyat Leo Kristi.
Saat menggunakan angklung, lab musik juga menggunakan perkusi berupa bedug atau drum yang memungkinkan komposisi yang dihasilkan lebih ngebeat, riang. Jenaka, tapi tidak kehilangan kedalamannya.
Saya kira, puncak kejayaan Lab. Musik adalah saat mereka menggunakan angklung sebagai media berekspresi. Lalu, mimpi indah mereka berakhir saat penyanyi mereka Gayatri Kusumawardani keluar. Dan.. Pukulan paling menyakitkan adalah saat pemain bas mereka Nanang, meninggal dunia.
Lantaran tiada Nanang di tengah mereka itulah, Budi mengganti instrumen angklung dengan musik digital dan memakai merek dagang Diapenta. Sebuah akronim dari diatonis dan pentatonis.
Tangga nada diatonis merupakan satu rangkaian tangga nada yang memiliki tujuh nada berbeda dalam satu oktaf. Tujuh nada tersebut diakhiri dengan satu nada yang berulang. Tangga nada ini mempunyai dua jarak nada, yaitu satu dan setengah.
Sedang Tangga nada pentatonik merupakan tanda nada yang menggunakan lima nada pokok. Berdasarkan jenis nadanya, tangga nada pentatonik terdiri atas dua, yakni pelog dan slendro.
Terus terang, pada Lab Musik saat ini, saya merasa kehilangan keriangan, kenakalan. Yang tersisa kini adalah kemuraman.
Entahlah, barangkali Budi Susilo memang sudah tak butuh lagi tepuk tangan atau goyangan dari penonton melalui beat beat yang menghentak. Budi Susilo melalui Diapenta kini lebih suka mengajak penikmatnya terbang bebas tanpa dibatasi ketukan drum. Sebuah pilihan musik yang sunyi tapi isi, khas musik2 untuk penyembuhan (healing) atau musik2 mantera dengan kerapnya pengulangan pada larik2 lagunya.
Hidup memang cuma pilihan. Dalam bermusik, Budi sudah memilih jalan sunyi yang jauh dari ingar bingar tepuk tangan dan gemerlap lampu panggung. Dalam jagad musik, budi Susilo dan Lab Musik Jakarta tetap diperlukan, setidaknya setelah lelah dengan musik jedag jedug, setelah berkeringat dengan bunyi gendang, perlu juga kita berkontemplasi bersama Lab Musik Jakarta.
Jakarta, 13 September 2023