Suara Jelata – Tempo hari, ketika penulis memberikan materi pangayaan kepada peserta didik pasca mereka mengikuti Asesmen Sumatif Akhir Tahun, nampak wajah mereka kelelahan dan antusiasmenya tidak bergairah. Dalam refleksi, penulis sebagai guru mengonfirmasi faktor penyebabnya. Dengan jujur mereka mengatakan tiap malam jarang tidur karena harus belajar untuk persiapan alias sistem kebut semalam.
Fenomena tersebut, tentunya banyak terjadi di banyak sekolah sebagai satuan pendidikan. Di tengah banjir informasi saat ini, mereka lebih banyak tertarik pada gawainya yang menyediakan ragam pilihan konten menarik, ketimbang membaca ataupun belajar materi yang diberikan oleh gurunya.
Padahal belajar tersebut merupakan aktualitas diri yang harus dibumikan pada masing-masing pribadi peserta didik. Belajar bukan merupakan paksaan, namun sebagai kewajiban yang harus diimplementasikan untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi utuh dan mandiri. Belajar materi pembelajaran tidak dapat instan, namun perlu dilakukan dengan konsisten dan berkesinambungan. Bukan dengan metode memental, seperti kalau ada asesmen baru belajar. Kalau hal tersebut dilanggengkan, niscaya tujuan pembelajaran tidak tercapai, karena hanya mengenal mateti dalam tempo singkat. Sudah dipastikan banyak menguap atau raib seperti awan tertiup angin kencang.
Perubahan tingkah laku
Pada dasarnya belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami oleh peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru sebagai resultansi antara stimulus dan respon (Asri Budiningsih, 2012).
Sebagai contoh, dalam mata pelajaran seni budaya peserta didik belum dapat mengenal gerak dasar seni tari. Walaupun sudah bekerja keras, ditambah gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika peserta didik tersebut belum dapat mempraktikkan gerak dasar seni tari, maka mereka belum dianggap belajar, karena belum menunjukan perubahan signifikan sebagai hasil belajar.
Belajar akan dapar efektif apabila peserta didik mampu membuat cara-cara belajar yang sudah dijalani menjadi suatu pembiasaan sehari-hari. Belajar merupakan kebutuhan yang dapat dijadikan parameter untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Seperti memperhatikan ketika guru memberi materi, kritis dalam menyampaikan pendapat, piawai dalam merumuskan materi, dan seterusnya.
Sudah menjadi pembiasaan, ketika penulis mengajar, peserta didik diwajibkan untuk menyiapkan minimal tiga pertanyaan sesuai dengan konteks materi. Mereka yang mampu membuat pertanyaan kritis atau memiliki pandangan berbeda, serta menyimpulkan materi akan mendapat reward sebagai apresiasi dari usaha yang sudah dilakukan.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam belajar, peserta didik masih memiliki berbagai hambatan yang sangat elementer, di antaranya hambatan dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup segi intelektual seperti kecerdasan, bakat, minat, motivasi, kondisi dan keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi kondisi sosial peserta didik seperti lingkungan, ekonomi keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar.
Dari berbagai hambatan tersebut apabila tidak diantisipasi tentunya akan berimbas dari hasil belajar mereka. Untuk itu guru dan juga orang tua di rumah dapat menjadi fasilitor agar mereka yang baru tumbuh tersebut dapat mengatasi dan mencari solusi terbaik agar belajarnya dapat efektif juga efisien.
Belajar efektif adalah suatu metode atau cara belajar yang disesuaikan oleh keadaan fisik atau keadaan personal peserta didik, baik itu dilihat dari perspektif metode belajar, penggunaan tempat belajar, juga waktu belajar. Sedangkan belajar efisien merupakan cara belajar yang meminimalkan usaha belajarnya atau mengurangi waktu belajar namun maksimal dalam hasil akhir.
Untuk itu formula belajar efektif dan efisien tersebut perlu dijabarkan dalam tataran praksis. Seperti mengulang materi di rumah. Sepulang sekolah, materi dari guru perlu diulang dan dibaca kembali agar materi semakin membumi. Termasuk mengerjakan tugas tepat waktu, sebagai wujud dari kedisiplinan dalam belajar. Tidak dapat dipungkiri perilaku disiplin merupakan kata kunci untuk meraih kesuksesan dalam berbagai segmen kehidupan.
Pada akhirnya di zaman digitalisasi ini, para guru perlu terus membangkitkan kegembiraaan dan hasrat untuk terus belajar terus sepanjang hayat kepada peserta didik sebagai modal bertumbuh untuk masa depannya. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
Alumnus Magister Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta