DAERAHNews

TPA di Magelang Overload, Saatnya Pemerintah Dorong Budaya Daur Ulang Sampah

×

TPA di Magelang Overload, Saatnya Pemerintah Dorong Budaya Daur Ulang Sampah

Sebarkan artikel ini
TPA Kota Magelang. (foto: Narwan)

MAGELANG JATENG, Suara Jelata Magelang menghadapi krisis sampah yang kian parah. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di kawasan ini sudah lama tak mampu menampung limpahan limbah dari masyarakat.

Situasi ini menyoroti betapa lemahnya pengelolaan sampah di berbagai daerah yang terlalu mengandalkan konsep “buang dan lupa”.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Dilansir dari mabesnews.com (Minggu 05/01/2025), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jawa Tengah berjanji akan membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang mampu mengolah 200 ton sampah per hari dengan teknologi mutakhir seperti refuse derived fuel (RDF).

Kepala DLHK Jateng, Widi Hartanto, menyebut bahwa pembebasan lahan seluas 12 hektar telah dilakukan dengan anggaran Rp 24 miliar, dan proyek ini diharapkan selesai pada 2026, keterangannya melalui pesan singkat kepada mabesnews.com, Minggu (05/01/2025).

“Pembangunan TPST itu penting, tapi kita harus realistis. Sampah terus bertambah setiap hari. Apa pemerintah siap mengelola transisi ini dengan serius?” tanya salah satu aktivis lingkungan di Magelang.

Jalan masuk TPST di Bandongan Magelang. (foto: Narwan)

Keterbatasan lahan membuat Kota Magelang harus “numpang buang sampah” ke kabupaten sekitar. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: Mengapa kota sebesar Magelang tak mampu merancang sistem pengelolaan sampah yang lebih mandiri?

“Ini bukan hanya soal keterbatasan lahan. Ini soal visi dan keberanian untuk mengubah kebiasaan masyarakat. Open dumping sudah dilarang, tapi kita masih melihat tumpukan sampah di mana-mana. Pengelolaan sampah organik dan anorganik masih jauh dari ideal,” kata Widi.

Membangun TPST apakah solusi jangka panjang, tapi bagaimana dengan sampah yang terus menumpuk hari ini? Penerapan teknologi seperti RDF memang menjanjikan, tetapi masyarakat memerlukan tindakan nyata dalam jangka pendek.

Beberapa aktivis mendorong inisiatif seperti zero waste, pengelolaan berbasis komunitas, dan pelibatan sektor swasta.

“Daripada hanya menunggu TPST selesai, pemerintah bisa mendorong bank sampah, kompos, hingga teknologi daur ulang skala kecil di tingkat RT/RW. Sampah tak akan menunggu proyek selesai,” ujar seorang pemerhati lingkungan yang enggan disebut identitasnya pada Minggu (05/01/2025).

Jika TPST Magelang selesai pada 2026, pertanyaan besarnya adalah: Apakah masyarakat siap mendukung sistem baru ini?

Tanpa edukasi masif dan pengelolaan yang transparan, TPST hanya akan menjadi proyek mercusuar lain yang gagal menangani akar masalah.

Awal Januari 2025, pembangunan akses ke lokasi TPST Bandongan belum selesai. (foto: Narwan)

“Pemerintah sering menganggap sampah hanya soal infrastruktur. Padahal, ini tentang kebiasaan dan budaya. Kalau masyarakat tetap suka membuang sembarangan, TPA atau TPST sebesar apa pun akan kewalahan,” tutup seorang ahli tata kota.

Namun, solusi tak cukup hanya datang dari gedung pemerintahan, ia harus tumbuh di rumah-rumah, di jalanan, dan di hati warganya. Jika tidak, kota ini akan tenggelam, bukan oleh air, tetapi oleh limbah yang terus menggunung.

Juga kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai dengan anggapan bahwa sungai adalah tempat sampah terpanjang di dunia, dipastikan berpotensi terjadinya bencana lebih besar. (Nar)