Opini

Wartawan Plagiat, Bentuk Pengkhianatan Dunia Jurnalistik

×

Wartawan Plagiat, Bentuk Pengkhianatan Dunia Jurnalistik

Sebarkan artikel ini
Ilutrasi Wartawan Plagiat. (ilustrasi: Tukang Rilis)

Suara Jelata Seorang wartawan atau yang ingin menjadi wartawan harus memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, mengingat seorang wartawan dituntut untuk profesional dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi itu antara lain memiliki kemampuan menulis dan memiliki etika yang baik.

Masih terjadinya plagiarisme dalam dunia jurnalistik dimungkinkan karena masih adanya wartawan yang belum memiliki kemampuan menulis sendiri sebagai sebuah karya jurnalistik. Masih banyak wartawan plagiat di negeri ini karena belum memiliki kemampuan menulis yang baik, baik itu secara lisan maupun tulis.

Scroll untuk lanjut membaca















Selain itu, wartawan plagiat bisa saja memiliki kemampuan menulis, hanya saja tidak menggunakannya secara baik, artinya malas berfikir atau enggan menyusun berita atau tulisan. Yang lebih memprihatinkan, wartawan plagiat ini tidak memiliki etika yang baik, yang merupakan salah satu syarat seseorang menjadi wartawan.

Seiring berubahnya arah pertumbuhan industri media pada sistem digital dan online dewasa ini, memunculkan banyak industri media yang merekrut wartawan. Masing-masing memiliki cara tersendiri dalam perekrutan wartawan, ada yang ketat, ada pula yang longgar. Hal ini diduga memunculkan wartawan plagiat yang jelas kemampuan jurnalistiknya masih perlu ditingkatkan.

Kebiasaan plagiat atau istilah lain copy-paste (copas) adalah sebuah bentuk pengkhianatan dalam dunia jurnalistik. Sedangkan wartawan plagiat sebagai pelaku tidak menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada BAB III Pasal 7 ayat (2) menyebutkan Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Sebaiknya, seorang wartawan harus benar-benar turun ke lapangan untuk mencari dan menggali fakta, bukan hanya menerima informasi dari rekan lain atau bahkan menjiplak karya orang lain. Meskipun sudah kenal dan dekat dengan wartawan si penulis pertama, tetap harus izin. Guna menghindari plagiarisme, seorang jurnalis harus mampu memproduksi berita sendiri. Karena tugas seorang jurnalis adalah mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarluaskan informasi.

Seorang wartawan harus memiliki tulisan yang berbeda dengan wartawan lain untuk kejadian, informasi dan narasumber yang sama. Namun tidak harus seluruhnya, bisa berbeda judul dan teras berita, sudut pandang dan bahasannya,yang kemudian ditulis dengan kemampuan jurnalistik yang dimilikinya.

Seorang wartawan sebaiknya tidak melakukan praktik plagiarisme berita tanpa seizin si wartawan penulis berita itu. Karena perbuatan tersebut tidak etis dan bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Masih terjadinya praktik menyontek, plagiat atau plagiarisme karya jurnalistik yang dilakukan kalangan awak media tanpa menyebutkan sumber dan tanpa izin sangat merugikan. Padahal, semestinya berita hasil kutipan bisa ditulis berbeda, tidak sama persis atau mirip-mirip dengan berita pertama yang dikutip tanpa menghilangkan esensi dari berita itu sendiri.

Perlu juga dipahami, praktik plagiat sangat memungkinkan seorang wartawan bakal menghadapi gugatan dan permintaan hak jawab dari narasumber, penulis pertama berita, atau pihak-pihak yang merasa tidak pernah diwawancarai.

Seorang wartawan harus tetap mengedepankan etika, terlebih wartawan adalah sosok yang sering dianggap tokoh sebagai salah satu pilar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ingat, sehebat apapun seorang wartawan, jika tidak beretika maka tidak ada gunanya. (*)

Penulis:
Narwan, S.Pd.
Wartawan tinggal di Kota Magelang
Jawa Tengah