MALUKU UTARA, Suara Jelata – Kebijakan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos (STL) dalam menempatkan orang yang kredibel, bersih dari praktik korupsi dalam pemerintahannya bak isapan jempol belaka.
STL, gubernur perempuan pertama Maluku Utara ini diketahui dalam setiap sambutannya kerap memaparkan visinya membentuk pemerintahan yang kuat dan bersih melalui metode rekrutmen merit sistem. Komitmen gubernur tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan realitas pemerintahannya.
Dilansir dari berbagai sumber, kebijakan STL menunjuk mantan Kepala Bappeda Kabupaten Pulau Morotai, Abjan Sofyan sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) Malut menuai sorotan berbagai kalangan.
Tulis sejumlah sumber, kebijakan STL tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah pusat yakni Kementerian Dalam Negeri juga Badan Kepegawaian Nasional.
Dua lembaga tersebut secara jelas-jelas melarang Gubernur, Bupati dan Walikota merekrut atau mengangkat seseorang non ASN untuk ditempatkan sebagai staf khusus maupun tenaga ahli di bagian pemerintahan.
Dihubungi via WhatsApp, Senin (14/04/2025), Wakil Ketua MPO Malut, Amanah Upara mengatakan, kebijakan STL sebagai gubernur sangat tidak sejalan dengan visi misinya.
“Dalam kapasitas sebagai gubernur, STL tidak boleh merekrut orang yang pernah tersandung kasus korupsi. Kebijakan ini sebagai pertanda bahwa STL tidak memahami tentang sistem pemerintahan daerah,” tegasnya.
Dikatakan Amanah, gubernur seharusnya menunjuk seseorang sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD), mekanismenya harus melalui pertimbangan DPRD. Tidak bisa serta merta gubernur langsung menunjuk seseorang tanpa diketahui DPRD. Artinya, sebagai gubernur, STL tidak boleh menggunakan kewenangannya sendiri tanpa sepengetahuan DPRD. Ini karena anggota DPRD punya fungsi pengawasan terhadap Kepala Daerah/Gubernur.
“Jika STL punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Malut, berarti tidak boleh STL menunjuk mantan narapidana untuk menjadi Ketua TPPD Malut,” ucap Amanah.
Amanah mempertanyakan, apakah memang tidak ada lagi orang lain yang punya SDM sekaliber Abjan Sofyan yang juga mantan Sekda Halmahera Barat dan mantan Kepala Bappeda Kabupaten Pulau Morotai itu?
Bukankah masih ada Sekda Provinsi yang punya kemampuan dan pengalaman? Di samping itu, masih ada nama Abubakar Abdullah yang juga punya kemampuan untuk bisa membantu STL sebagai gubernur.
Jika jabatan Ketua Tim PPD itu adalah jabatan di luar birokrasi, STL bisa merekrut kalangan profesional. Menurut Amanah, masih ada Doktor Kebijakan Publik, Doktor Ekonomi di Unkhair maupun di UMMU. Mereka notabenenya adalah orang bersih.
“Kebijakan STL ini pertanda bahwa dia tidak punya komitmen yang kuat terhadap pemberantasan korupsi di Maluku Utara,” tandas Amanah.
Dengan direkrutnya Abjan Sofyan, ini berarti STL punya pandangan korupsi itu adalah hal biasa di Malut.
Pertanyaannya kemudian, ada alasan apa STL perlu merekrut yang bersangkutan menjadi Ketua TPPD? STL perlu menjelaskan ke publik, apa alasannya.
Menurut Amanah, STL dalam program seratus hari kerja terfokus hanya membangun pencitraan ke publik, tanpa adanya kebijakan yang berpihak ke rakyat.
“Maluku Utara tidak butuh pencitraan. Maluku Utara butuh kerja riil dari gubernur,” ujarnya.
Menurut Amanah, sekalipun hampir mendekati 100 hari kerja, pihaknya belum melihat kebijakan riil dari STL sebagai gubernur. Padahal, visi misi gubernur itu ada poin-poin penting untuk diwujudkan dalam seratus hari kerja. Dalam momen seratus hari kerja itu, gubernur membuat program riil, perencanaan riil untuk selanjutnya diimplementasikan dalam program jangka menengah dan program jangka panjang. Lagi pula, tidak ada pemerintah daerah yang sukses dalam program seratus hari kerja.
“Contoh kasus, pemberlakuan tiket bersubsidi 50 persen. Faktanya masih ada pemudik yang tidak mendapatkan tiket bersubsidi. Kasus ini terjadi pada pemudik rute pelayaran Ternate-Sula, Sula-Taliabu,” tukas Amanah.
Dikatakan Amanah, aspek pengamanannya juga tidak benar, kapasitas tempat duduk juga tidak tersedia sesuai jumlah penumpang dan volume penumpang melebihi kapasitas.
Ini pertanda lemahnya pengawasan oleh pemerintah provinsi. Ujung-ujungnya menguntungkan pemilik kapal sementara masyarakatnya yang dirugikan. (Ateng)