JAKARTA, Suara Jelata – Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp 208,5 miliar yang digadang-gadang Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) sebagai solusi pemulihan ekonomi pasca-pandemi, justru berubah menjadi jerat fiskal dan dugaan bancakan politik. Janji manis pemulihan ekonomi, faktanya hanya meninggalkan utang nyaris Rp 300 miliar yang harus ditanggung rakyat hingga tahun 2028.
Ketua Sentrum Mahasiswa Indonesia (Semaindo) Halbar–DKI Jakarta, Sahrir Jamsin menyebutkan, dalam dokumen resmi, angka Rp 208,5 miliar disebut sebagai pokok pinjaman. Namun, setelah dihitung bunga, provisi, dan biaya pengelolaan, kewajiban riil melonjak menjadi ± Rp 290 miliar.
Jumlah tersebut dengan rincian:
- Pokok pinjaman: Rp 208,5 miliar, Bunga masa tenggang 2021–2022: ±Rp25,8 miliar, Bunga 2023–2028 (±Rp 9 miliar/tahun) : Rp 54 miliar
- Provisi & biaya pengelolaan : Rp 4 miliar
- Total kewajiban riil : kurang lebih Rp 290 miliar
Ini Artinya, beban rakyat Halbar sesungguhnya lebih dari Rp 80 miliar di atas angka resmi yang dipublikasikan Pemda.
“Masyarakat Halbar dibuai angka Rp 208,5 miliar, padahal beban riil hampir Rp 300 miliar. Ini bukan pemulihan, ini jerat fiskal,” tegas Sahrir Jamsin.
Narasi Pemda berbicara soal UMKM, pertanian, dan perikanan. Namun realisasi membuktikan sebaliknya. Lebih dari 90% dana justru diarahkan ke proyek fisik, di antaranya:
- Dinas PUPR: Rp 187,5 miliar – proyek jalan, jembatan, dan gedung
- Dinas Pariwisata: Rp 6 miliar – penataan wisata
- RSUD Jailolo: Rp 6 miliar – fasilitas rawat jalan
- Dinas Perhubungan: Rp 4 miliar – penerangan jalan umum
- Dinas Perumahan/Permukiman: Rp 5 miliar – rumah tidak layak huni.
Nyaris tidak ada anggaran yang menyentuh langsung petani, nelayan, dan UMKM. Skema ini memperlihatkan pola lama: proyek fisik sebagai bancakan kontraktor dan elit politik, sementara rakyat hanya diwarisi cicilan utang.
Dengan cicilan Rp 43–45 miliar per tahun, dan 70% APBD Halbar (± Rp 1,1 triliun) sudah tersedot untuk gaji pegawai, ruang fiskal daerah semakin sempit. Program pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik makin terpinggirkan.
“Logikanya sederhana, semakin besar cicilan utang, semakin kecil anggaran untuk rakyat. Jadi, proyek ini bukan pemulihan, melainkan pengalihan dana rakyat ke kontraktor dan elit politik,” kata Sahrir.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas LKPD Halbar Tahun 2023 menegaskan masalah ini bukan asumsi, melainkan fakta audit negara. Beberapa temuannya:
- 2023-BPK-HALBAR-001 (SPI): Lemahnya pengendalian internal kas daerah, rawan manipulasi dan kebocoran.
- 2023-BPK-HALBAR-002 (Kepatuhan): Penyimpangan penggunaan DAU & DAK yang tidak sesuai peruntukan.
- 2023-BPK-HALBAR-003 (Pengelolaan Utang): Kelemahan tata kelola pinjaman daerah, termasuk pinjaman PEN Rp208,5 miliar, tanpa analisis kemampuan fiskal memadai.
- 2023-BPK-HALBAR-004 (Proyek Infrastruktur): Indikasi mark up harga & kekurangan volume pekerjaan.
- 2023-BPK-HALBAR-005 (Hibah & Bansos): Penyaluran tidak patuh dan rawan penyalahgunaan untuk kepentingan politik lokal.
Temuan ini memperlihatkan kelemahan tata kelola keuangan dan indikasi penyimpangan yang serius.
Hingga kini, Kejati Malut dan Kejari Jailolo belum menuntaskan kasus besar ini. Publik mulai meragukan keberanian mereka membongkar lingkaran elit lokal yang menikmati rente kekuasaan.
“Diamnya aparat daerah hanya akan memperpanjang penderitaan masyarakat Halbar. Kami meminta, Kejagung RI dan KPK segera turun tangan. Bongkar siapa yang merancang, siapa yang mengesahkan, dan siapa yang menikmati rente dari pinjaman ini. Rakyat Halbar tidak boleh jadi korban kejahatan kebijakan,” tutup Sahrir.
Kasus Halbar bukan sekadar masalah daerah. Ini preseden berbahaya bagaimana pinjaman pemerintah daerah bisa berubah menjadi alat perampokan anggaran secara legal. Bila dibiarkan, pola ini akan terulang di banyak daerah lain.
Kejagung RI dan KPK tidak hanya dihadapkan pada kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral: menyelamatkan rakyat dari jebakan fiskal dan skema rente kekuasaan.
“Jika pusat hukum negara pun memilih diam, maka Halbar akan tercatat sebagai bukti bahwa negara tega membiarkan rakyatnya dikorbankan atas nama pemulihan yang palsu,” pungkas Sahrir. (Ateng)