BeritaDAERAH

Kebijakan Gubernur Soal Pendidikan Gratis Picu Dilema Pembiayaan

×

Kebijakan Gubernur Soal Pendidikan Gratis Picu Dilema Pembiayaan

Sebarkan artikel ini
Kepala SMK Bina Informatika (Binter) Ternate, Maluku Utara, Lea Susanti Noho, S.Pd. (foto: Ateng)

MALUKU UTARA, Suara Jelata Kebijakan subsidi pendidikan gratis atau dikenal dengan Bosda oleh Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos menimbulkan dilema pembiayaan pendidikan. Kebijakan subsidi pendidikan yang diperuntukkan untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta tersebut bukannya menjawab permasalahan pembiayaan pendidikan yang selama ini bergantung pada dana partisipatif orang tua siswa atau dikenal dengan uang Komite Sekolah.

Hal tersebut dirasakan langsung di hampir semua sekolah baik SMA maupun SMK negeri maupun swasta di Maluku Utara. Sekolah-sekolah tersebut dalam memenuhi kebutuhan operasional pendidikan selain bergantung dari dana yang bersumber dari BOS Reguler atau BOS Pusat, dana Komite Sekolah juga berperan membantu kelangsungan proses belajar mengajar.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Diketahui alokasi anggaran Bosda oleh Gubernur Maluku Utara, diperuntukkan per siswa SMA sebesar Rp 50.000 per bulan dan SMK Rp 75.000 per bulan, nominal sebesar itu sangat membebani sekolah.

Diwawancarai awak suarajelata.com, Kepala SMK Bina Informatika (Binter) Ternate, Maluku Utara, Lea Susanti Noho, S.Pd, mengatakan, untuk SMK, dana sebesar itu sangat tidak mencukupi untuk memenuhi dua item kegiatan penting di SMK yaitu, Ujian Kompetensi dan Prakerin (Praktik Kerja Industri).

Menurutnya, nominal Rp 75.000 per siswa, pembagiannya Rp 25.000 untuk membiayai Ujian Kompetensi dan Prakerin. Jika setiap siswa kebagian Rp 25.000 untuk dua kegiatan tersebut maka setiap satu kegiatan, siswa dibiayai dengan nominal Rp 12.500.

“Ini angka nominal yang sangat tidak rasional. Bayangkan saja, untuk Ujian Kompetensi itu kita butuh alat dan bahan yang lumayan banyak. Jelas ini menghambat proses pendidikan,” ujar Lea.

Untuk Praktik Kerja Industri (Prakerin), prosedurnya, sebelum siswa turun melaksanakan Prakerin, guru harus lebih awal melakukan negosiasi dengan perusahaan industri. Selain itu sekolah juga membuat jurnal, ID Card siswa peserta Prakerin, membuat laporan dan lain sebagainya. Semua item itu membutuhkan anggaran.

“Jelas, sangat tidak rasional kalau hanya dengan nominal Rp 12.500 per siswa semua itu bisa terwujud,” imbuhnya.

Mencermati permasalahan tersebut, Komite Sekolah akhirnya harus melakukan rapat dengan orang tua siswa. Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk kegiatan tersebut, orang tua siswa memberi respons positif untuk berpartisipasi demi keberlangsungan Ujian Kompetensi dan Prakerin.

“Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos adalah pembuat kebijakan (decitation maker), termasuk dalam hal membuat kebijakan terkait subsidi pendidikan gratis atau Bosda. Yang sangat disayangkan adalah kebijakan tersebut menggugurkan kewajiban orang tua siswa. Orang tua siswa punya kewajiban menyekolahkan anaknya sekaligus orang tua punya kewajiban membiayai pendidikan anaknya,” cetus Lea

Iya berharap ke depan kebijakan tersebut bisa dievaluasi kembali. Sekolah benar-benar menjerit dengan adanya kebijakan tersebut.

“Mudah-mudahan ada kenaikan nominal Bosda. Kalau bisa nominal per siswa setara dengan nominal uang komite yang diberlakukan oleh Komite sekolah sebelum adanya subsidi pendidikan yaitu Rp 150.000 per siswa untuk setiap bulan,” tutup Kepala SMK Binter ini. (Ateng)