PAMEKASAN JATIM, Suara Jelata – Kontroversi seputar penetapan Break Even Point (BEP) tembakau tahun 2023 semakin hangat karena perbedaan harga tembakau Madura dengan daerah penghasil tembakau di luar Madura. Harga tembakau di daerah Bondowoso tercatat sebagai yang paling rendah, sebesar Rp 55.000, sementara di Lombok mencapai Rp 60.000 ke atas.
Pada tahun lalu, harga tembakau di Pamekasan berada di bawah Rp 60.000. Perbedaan ini menarik perhatian, mengingat tembakau Madura memiliki karakteristik rasa dan aroma yang unik dibandingkan tembakau dari daerah lain.
Para petani tembakau berpendapat bahwa penetapan BEP oleh pemerintah dianggap sebagai penetapan harga terendah. Mereka berpendapat bahwa harga yang ditetapkan tidak memperhitungkan biaya pengolahan, biaya tanam, dan biaya produksi, yang seharusnya menjadi faktor utama dalam menentukan harga jual.
Sekretaris Pusat Perjuangan Tani Madura (P4TM) Abdul Aziz, menyatakan kekecewaannya terhadap kurangnya perhatian pemerintah terhadap masukan dan aspirasi petani dalam pembahasan penetapan BEP. Dia mengungkapkan bahwa pertemuan sebelumnya tidak menghasilkan solusi yang diharapkan, dan permintaan petani tidak diindahkan.
Abdul Aziz juga menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator dalam menyelesaikan perdebatan ini. Menurutnya, penetapan harga harus melalui kesepakatan antara pengusaha tembakau dan pemerintah, dengan melibatkan perwakilan legislatif, pemerintah daerah, asosiasi, dan perwakilan petani.
“Tujuannya adalah mencapai harga tembakau yang adil dan menguntungkan bagi petani. Kami berharap agar pemerintah dapat memperhatikan kepentingan petani dan tidak hanya menguntungkan pengusaha,” ujarnya.
Selain itu, Abdul Wahid perwakilan petani tembakau dari Desa Montok, Kecamatan Larangan, menambahkan bahwa pemetaan BEP yang membagi lahan menjadi sawah, tegal, dan gunung tidak adil.
“Perbedaan jenis tanah ini tidak terlalu signifikan. Sehingga petani yang menanam di lahan sawah merasa tidak dihargai,” ungkapnya.
Dia juga mencatat penurunan harga tembakau yang merugikan petani, dengan harga sekarang hanya Rp 43.000 per kilogram, dibandingkan dengan Rp 50.000 per kilogram tahun sebelumnya.
“Hal ini menyebabkan petani mengalami kerugian finansial,” tandas Wahid.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi II DPRD Pamekasan, Ismail, menyatakan bahwa penetapan BEP harus melibatkan semua pihak terkait. Dia mengingatkan bahwa dalam pertemuan sebelumnya, tidak ada pembahasan rinci mengenai total biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk menanam tembakau di setiap hektar lahan. Dia juga mengkritik pengurangan subsidi pupuk untuk petani, sementara biaya produksi petani diklaim lebih murah.
Untuk menyelesaikan perdebatan ini, Ismail menyatakan bahwa Komisi II DPRD Pamekasan akan memanggil instansi terkait, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, DKPP (Dewan Ketahanan Pangan dan Pertanian), serta bagian perekonomian.
“Tujuannya adalah menyatukan pemahaman dan mencegah kerugian petani pada musim tanam tahun 2023,” ucapnya.
Ismail juga menegaskan bahwa kondisi cuaca di Madura mendukung keberhasilan pertanian tembakau, dan pemerintah perlu mempertimbangkan hal ini dalam penetapan harga tembakau yang adil.
Kontroversi mengenai penetapan BEP tembakau tahun 2023 masih terus berkembang dan menjadi perhatian semua pihak terkait. Keputusan yang diambil dalam waktu dekat akan menjadi penentu bagi kehidupan dan penghidupan para petani tembakau di Madura. (Ilunk)