Suara Jelata – Lantunan gamelan atau musik tradisional Jawa itu terdengar syahdu, menyusup di sela-sela dentingan jiwa. Irama mengalir laksana air mengalir dari puncak bukit yang asri. Beberapa penabuh gamelan dengan piawainya memukul beberapa perkusi yang menyatu dalam kesatuan irama harmoni dengan pola ritme yang menyertai. Sore itu, puluhan pelajar dari Pusat Pendidikan Buddhis Fo Guang Shan Indonesia yang berpusat di Taiwan belajar musik gamelan di Borobudur Art Centre di Dusun Jligudan, Desa Borobudur, Kabupaten Magelang. Mereka berasal dari seluruh Indonesia dan luar negeri yang sedang menimba ilmu di Pusat Pendidikan Buddhis tersebut.
Sontak semua heran. Mereka yang baru beberapa kali latihan sudah mampu memainkan beberapa repertoar lagu dan juga mengiringi tari Gambyong. Kecerdasan dan keingintahuan mereka cukup tinggi untuk mengetahui secara lebih detail berbagai teknis dalam bermain gamelan. Para tamu dari Taiwan dan Malaysia yang juga difasilitasi oleh Pusat Pendidikan Buddhis Fo Guang Shan ikut berlatih. Mereka dengan cukup piawai dapat memainkan musik gamelan dengan pola gendhing (komposisi musik) lancaran.
Antusiasme para remaja ketika berlatih gamelan di Borobudur Art Centre tersebut dapat menjadi indikator, bahwa minat mereka tersebut tergolong tinggi. Memang generasi yang sedang bertumbuh tersebut perlu dikenalkan dengan nilai-nilai kultural yang termuat dalam benda peninggalan warisan budaya. Dengan mengenal, dalam tahapan proses akan tumbuh motivasi untuk terus belajar. Apabila motivasi belajar tersebut sudah sampai tataran praktis, pewarisan akan terus mengalir dan berkesinambungan secara alami.
Dalam gegap gempitanya era saat ini, sudah dipastikan manusia akan kembali kepada hakikat kesejatian hidup, dari mana mereka berasal. Dengan mendengarkan lantunan musik gamelan, serasa manusia dibawa ke alam imajiner yang secara filosofis layaknya memasuki alam ketenteraman hidup abadi dambaan setiap umat manusia. Dentingan siter, alunan gambang, hentakan pukulan kendhang, metrum dinamis dalam pemangku irama bonang barung atau penerus serta instrumen lainnya dapat membawa yang mendengarkan masuk dalam kesejatian ketenteraman jiwa. Dapat juga diandaikan, manusia perlu menyusuri jalan sunyi untuk menuju kebahagian dan kesejatian hidup abadi.
Menelisik kurun waktu lahirnya gamelan yang sudah berabad-abad di bumi Nusantara, maka tidak mengherankan, UNESCO mencatat, gamelan sebagai salah satu sarana ekspresi budaya, warisan budaya tak benda, serta sarana membangun korelasi emosional antara manusia dengan alam semesta (Kompas, 2021).
Rujukan penelitian
Dalam jejak perjalanan historisnya, secara faktual gamelan telah menyebar, melintas batas-batas kultural. Pada awal abad ke-19 gamelan menjadi benda eksotis yang coba diperkenalkan di bumi Eropa. Terlebih lagi, setelah Jaap Kunts, salah seorang pengacara muda dari Belanda, pada tahun 1919 menginjakkan kaki di tanah Jawa. Kekaguman Kunts menggelora dan berkobar begitu mendengarkan gamelan dibunyikan secara eksotis di dalam tembok istana, tempat bersemayam para bangsawan maupun abdi istana.
Bunyi gamelan yang sangat eksotis dari masing-masing pemangku iramanya tersebut yang menginspirasi Kunts membuat sederet penelitian tentang gamelan yang publikasinya tersebar di seluruh belahan bumi. Sebut saja penelitiannya yang bertajuk Hindu-Javanesese Musical Instruments (1968), Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Technique (1973).
Laporan penelitian tersebut banyak menjadi rujukan para peneliti yang akan mengungkap lebih jauh eksistensi gamelan dengan segala pernik-pernik dinamikanya. Momentum tersebut mengawali sebaran diaspora gamelan di berbagai negeri, khususnya di Amerika Serikat juga negara-negara di benua Eropa.
Tidak hanya di Eropa dan Amerika, diaspora loncatan estafet gamelan juga merambah daratan Asia. Di Jepang diprakarsai oleh Prof. Koizumi dari Tokyo University of Fine Art and Music. Murid Koizumi penggerak gamelan handal di Jepang adalah Fumi Tamura. Ia akhirnya juga mengikuti jejak gurunya menjadi pakar gamelan di Jepang. Universitas lain di Jepang juga tak ketinggalan termotivasi Prof. Koizumi dengan membentuk kelompok gamelan dan membeli seperangkat gamelan.
Tak Cuma kelompok dewasa, anak-anak kecil murid Tamura juga dengan penuh apresiatif sangat piawai memainkan instrumen gamelan yang sering pentas di gedung Kodomono Shiro Tokyo. Di Saka Universtiy atau Kyoto City University of Arts, bisa dijumpai etnomusikolog Shin Nakagawa yang mengorganisir gamelan Dharma Budaya (Sutanto Mendut, 2002).
Pada masa keraton atau kerajaan di Indonesia menjadi pusat atau barometer kebudayaan, istilah gamelan lebih dikenal dengan sebutan kagunan gamelan. Implikasi kagunan gamelan ini diawali dari proses awal pembuatan gamelan sampai dengan varian gendhing yang dihasilkan oleh gamelan, baik secara teknis, latar belakang filosofis, serta berbagai macam tata nilai budaya Jawa. Kagunan secara harafiah memiliki makna kepiawaian, hakikat seni, dan kesenian secara umum.Seturut dengan pemaknaan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kagunan memiliki muatan intelektualitas dan estetis yang satu sama lain saling berkelindan.
Ekplanasi tersebut membuka pola pikir komunitas pada waktu itu, bahwa di balik kagunan gamelan tersimpan sistem pengetahuan berupa nilai-nilai humaniora yang terkemas dalam simbol fisik dan non fisik. Simbol fisik berupa gamelan, sedangkan non fisik berupa gendhing dengan segala aspek di dalamnya, seperti nada (laras) baik slendro maupun pelog juga termasuk nilai filosofis dalam masing-masing nada tersebut terkait dengan kehidupan manusia selama hidup di mayapada.
Sajian orkestrasi
Gamelan sebagai sebuah sajian orkestrasi akan dapat dinikmati estetikanya apabila masing-masing pemangku irama tersebut dibunyikan bersama-sama secara simultan. Suara kendang, slenthem, gambang, bonang, gender, kempul, saron, gong, dan berbagai peralatan musik lainnya mempunyai ciri spesifik tersendiri. Misalnya kendhang berfungsi sebagai pengatur irama, gender sebagai penyelaras lagu, bonang barung sebagai pembuka dan penuntun lagu, kenong memiliki fungsi untuk mengisi harmonisasi dalam pementasan, dan berbagai perangkat musik lainnya yang memiliki fungsi dan keunikannya masing-masing.
Apabila dilihat dari perspektif aksiologi, banyak sekali manfaat dan nilai yang terkandung dalam musik gamelan. Di antaranya belajar kolaborasi dengan tidak saling mendahulukan nada satu dengan nada lainnya. Dalam filosofis kehidupan manusia, bekerjasama merupakan aspek yang sangat krusial. Dengan kerjasama pekerjaan berat dapat teratasi dan masing-masing pribadi perlu harus belajar untuk sabar dan menerima berbagai perbedaan yang tujuannya berorientasiasi pada kebajikan.
Kebersamaan dalam memainkan musik gamelan juga dapat memantik kesatuan utuh. Dengan integritas dan kesamaan pandang akan menjadi titik pencerahan dalam mencapai tujuan bersama yang dapat diaplikasikan ke semua perspektif kehidupan bersosialitas di masyarakat.Terlebih lagi era saat ini sampai dekade yang akan datang bangsa ini membutuhkan jiwa-jiwa muda yang memiliki nilai sosial dan empati tinggi.
Paparan di awal tulisan ini lebih menegaskan bahwa, apresiasi para pelajar dari Pusat Pendidikan Buddhis Fo Guang Shan yang memiliki empati tinggi pada musik gamelan kiranya dapat menjadi refleksi bersama. Pada dasarnya gamelan tidak hanya dipandang sebagai benda yang berfungsi sebagai santapan estetis, namun di dalamnya memuat nilai humaniora yang sarat akan pesan-pesan moral. Sebagaimana tertuang dalam perlindungan Tri Ratna yang memberikan permata atau kekayaan batin untuk membawa seluruh umat manusia pada kedamaian, kebahagiaan, pembebasan, dan kemudahan secara alami. Begitu juga dalam kehidupan, dengan mengandalkan kekuatan Tri Ratna seseorang dapat bebas dari penderitaan dan meraih sejatinya kebahagiaan yang hakiki.
Tidak bisa dipungkiri, gamelan membutuhkan kepedulian dari generasi saat ini, agar tetap terjaga, dinamis, berkelanjutan, dicintai semua kalangan, serta berkembang selaras dengan tanda-tanda zaman. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pengurus Bidang Pagelaran
Borobudur Art Centre Desa Borobudur
Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah