EkonomiOpini

Pertumbuhan Ekonomi Malut Sebesar 32,09 Persen: Prestasi Pemprov Atau Judi Struktural?

×

Pertumbuhan Ekonomi Malut Sebesar 32,09 Persen: Prestasi Pemprov Atau Judi Struktural?

Sebarkan artikel ini
Sahrir Jamsin. (foto: dok. Pribadi)

Suara Jelata Provinsi Maluku Utara mencatat pertumbuhan Ekonomi tertinggi di Indonesia pada Triwulan II Tahun 2025,sebesar 32,09 persen (year on year). Pemerintah provinsi menyebut ini sebagai bukti keberhasilan pembangunan dan iklim investasi yang kondusif. Gubernur Sherly Tjoanda Laos pun tampil percaya diri, memamerkan capaian ini di media sosial dan forum-forum nasional.

Namun, sebagai mahasiswa ekonomi pembangunan, penulis melihat ini sebagai ironi. Di balik angka-angka yang mencolok, tersimpan ketimpangan struktural, kerusakan lingkungan, dan stagnasi kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ini bukan pembangunan – ini perjudian ekonomi yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Berdasarkan data resmi BPS dan Bank Indonesia, berikut kondisi nyata masyarakat Maluku Utara:

Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025: 34,58% (yoy), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT): 4,26%, Tenaga kerja di sektor informal: 61,08%, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK): 68,99%, Indeks Pembangunan Manusia (IPM):  71,12 (di bawah rata-rata nasional 74,39). Persentase penduduk miskin (September 2024): 6,03% (turun tipis dari 6,32% Maret 2024), harga beras kualitas medium: Rp 14.500 – Rp 18.500/kg, harga cabai rawit merah: Rp 95.000 – Rp 100.000/kg, harga bawang merah: Rp 60.000 – Rp 65.000/kg. Rasio tenaga medis per 100.000 penduduk masih di bawah standar WHO, dan Akses internet desa hanya 42% dari total desa di Maluku Utara.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum menyentuh kehidupan nyata masyarakat. Orang Maluku Utara masih berusaha keras dengan harga pangan yang tinggi, pekerjaan informal, dan akses layanan dasar yang terbatas.

Pertumbuhan Maluku Utara sangat bergantung pada sektor pertambangan dan pengolahan nikel di Halmahera. Sektor ini padat modal, minim tenaga kerja lokal, dan rentan terhadap fluktuasi harga global. Sementara sektor produktif rakyat seperti pertanian, perikanan, dan UMKM justru stagnan dan kurang mendapat perhatian.

Lebih ironis lagi, perusahaan tambang yang diduga milik Gubernur Sherly Tjoanda Laos, PT Karya Wijaya diduga beroperasi tanpa izin lengkap, belum memiliki PPKH, jetty, dan jaminan reklamasi. Ini menimbulkan konflik kepentingan serius dalam kebijakan publik.

Sebagai mahasiswa ekonomi pembangunan, penulis menuntut:

  • Audit menyeluruh terhadap izin dan operasi tambang milik pejabat publik, Moratorium tambang baru sampai ada jaminan keberlanjutan.
  • Redistribusi hasil tambang untuk pendidikan, kesehatan, dan UMKM, Transparansi fiskal dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, Evaluasi etika kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda Laos.

Gubernur Sherly, Maluku Utara bukan meja judi. Rakyat bukan chip taruhan, dan pembangunan bukan soal menang cepat, tapi soal tumbuh adil dan berkelanjutan.

Jika arah kebijakan tidak dikoreksi, maka pertumbuhan 32 persen ini akan menjadi jackpot semu indah di laporan, tapi menghancurkan di lapangan. (*) 

Penulis:
Sahrir Jamsin 
Ketua Sentrum Mahasiswa Indonesia (SEMAINDO) Halmahera Barat – DKI Jakarta 
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan,
Universitas Trilogi Jakarta