KOTA TERNATE MALUT, Suara Jelata – Dalam rangka kunjungan muhibah budaya Forum Musyawarah Suku Betawi di Kedaton Kesultanan Ternate berjumlah 40 orang, digelar acara Dialog Kebudayaan, Selasa (25/11/2025).
Dr. Syahrir Ibnu yang juga dosen Sosiologi Universitas Khairun Ternate juga Kapita Bugis di Kesultanan Ternate diberi kepercayaan memberikan materi pada dialog tersebut. Penyampaian materi dialog mengangkat topik “Kesultanan Sebagai Modal Sosial” (Fondasi Identitas dan Kohesi Budaya di Era Pergeseran Nilai).
Menurutnya, kehadiran para undangan terutama Forum Masyarakat Suku Betawi, bukan hanya sebuah kunjungan formal, tetapi sebuah Silaturahmi Peradaban. Perjumpaan dua komunitas besar Nusantara yang sama-sama menjaga akar sejarah, bahasa dan martabat kebudayaan di tengah perubahan zaman.
“Saya berada di sini bukan hanya sebagai Kapita Bugis dalam struktur kesultanan Ternate, tetapi juga sebagai akademisi (Sosiolog Universitas Khairun) yang menekuni dinamika gerakan sosial. Dari dua posisi inilah saya ingin berbagi pandangan mengenai bagaimana Kesultanan Ternate berfungsi sebagai modal sosial yang menjaga kohesi budaya dan identitas masyarakat hingga saat ini,” ujarnya.
Sebelum menyelami pembahasan, Syahrir sempat meminta izin membuka pertemuan dengan sebuah renungan dari jantung Ternate.
“Di tanah ini, setiap embusan angin yang mengalir dari lereng Gamalama membawa kembali gema perjalanan para Jou, para leluhur yang menanamkan keberanian, kebijaksanaan, dan marwah adat dalam tubuh masyarakat. Hari ini, angin itu seakan membawa kabar baik. Kedatangan saudara-saudara kami dari Betawi, sebuah wilayah yang sejak berabad-abad menjadi simpul pertemuan berbagai bangsa. Pertemuan ini bukan sekadar hubungan antara tamu dan tuan rumah, melainkan dialog antara dua arus kebudayaan yang sama-sama mempertahankan jati diri ditengah derasnya perubahan global,” ungkap Sosiolog Unkhair Ternate ini.
Menurutnya, di Ternate, dirinya dan seluruh masyarakat percaya bahwa setiap perjumpaan adalah Foma Jira. Ruang yang mempertemukan niat baik, menautkan persaudaraan, dan menghidupkan kembali ingatan kolektif Nusantara.
“Betawi datang bukan sebagai ‘’tamu jauh” tetapi sebagai saudara yang sejak lama dekat dalam rasa dan sejarah. Sebab kebudayaan bagi kita bukan sekedar warisan yang diletakkan di rak museum saja, melainkan cahaya yang harus dijaga agar tidak redup diterpa derasnya zaman. Dalam cahaya itulah kita menemukan arah pulang dan makna keberadaan kita sebagai manusia Nusantara,” ungkapnya.
Dalam isi materinya, Dr. Syahrir Ibnu mengulas beberapa sub topik materinya antara lain, Kesultanan sebagai modal sosial di tengah pergeseran nilai.
Dalam konteks sub topik tersebut, ia mengatakan, Kesultanan Ternate merupakan salah satu contoh paling jelas dari modal sosial yang tetap hidup. Ia bukan sekadar simbol kejayaan masa lalu, tetapi struktur sosial yang menata hubungan masyarakat.
Ketika modernisasi bergerak cepat dan nilai-nilai lokal mengalami tekanan, Kesultanan menjadi jangkar identik. Ia menjaga agar masyarakat tetap memiliki ruang rujukan moral, simbol kolektif dan orientasi historis yay mengikat dalam satu kesatuan budaya.
Selain sub topik tersebut, sub topik lainnya adalah, Tiga Pilar Modal Sosial Kesultanan Ternate. Yang disebutkan ini meliputi, Struktur Adat Sebagai Penyangga Kohesi. Menurutnya, pilar pertama modal sosial Kesultanan Ternate adalah keberlanjutan struktur adat yang masih hidup dan dihormati.
Kedua adalah Bahasa dan Kearifan Lokal Sebagai Rumah Identitas. Pada konteks ini menurutnya, Bahasa Ternate adalah rumah pertama identitas masyarakat. Ia memuat ingatan kolektif, metafora kehidupan dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun.
Adapun sub topik ketiga adalah, Tradisi dan Praktik Sosial yang tetap hidup. Kesultanan Ternate bukan museum, ia adalah organisme sosial. Tradisi seperti Adat Kololi Kie, Kolano Barakati, Hubungan soa, Upacara Keagamaan Kesultanan dan ritual lainnya membentuk solidaritas yang kuat. (Ateng)
















