OPINI, Suara Jelata— Pandemi COVID-19 atau virus corona yang masih mengepung dunia nampaknya belum bisa diredam. Virus yang menyebar dengan cepat dan tak mengenal batas teritorial ini menjalar bak kebakaran dipadang rumput ilalang, dengan cepat merembet ke berbagai negara, membuat warga dunia menjadi semakin khwatir dan panik. Tak terkecuali di Indonesia.
Berawal dari kota Wuhan di Tiongkok, virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) ini menyebar diberbagai negara dan menyebabkan timbulnya penyakit COVID-19. Pada 11 Maret 2020, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Untuk memutus rantai penularan virus corona, orang-orang dihimbau untuk berdiam diri dirumah. Berbagai kegiatan yang mengumpulkan orang banyak tiadakan. Sudah pasti, perkuliahan secara langsung atau tatap muka juga diganti menjadi perkuliahan online atau daring
-ooo-
Nasib mahasiswa ditengah corona
Virus corona memberi dampak di berbagai sektor dan salah satunya adalah disektor Pendidikan. Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan di dunia pendidikan selama masa darurat virus corona di Indonesia.
Salah satu kebijakan tersebut adalah perkuliahan yang dilakukan secara daring. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia telah menerapkan perkuliahan daring sebagai bentuk tindakan dalam memutus rantai penyebaran virus corona. Bahkan, beberapa kampus pun telah mengambil kebijakan hingga akhir semester genap ini, termasuk Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester bahkan bimbingan tugas akhir dilakukan secara daring.
Selama perkuliahan daring tersebut, mahasiswa dan dosen diminta untuk melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan aplikasi semisal video conference, zoom, googleclassroom, skype dain lainnya.
Lantas, apakah sejauh ini perkuliahan secara daring sudah berjalan efektif? Apakah transformasi ilmu antara mahasiswa dengan dosen sudah berjalan dengan baik? Apakah perkuliahan daring hanya sebatas mengikuti trend?
Sampai hari ini, suara-suara mahasiswa dalam menanggapi perkuliahan secara daring tersebut sudah beragam. Seperti kesulitan bagi mahasiswa yang tinggal di daerah-daerah yang di mana akses jaringan belum memadai, pembelian kuota internet untuk menunjang perkuliahan daring, perkuliahan daring hanya sebatas pemberian tugas dan sangat sedikit dalam transformasi ilmu. Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya didengar oleh birokrasi kampus.
Beberapa kampus yang telah menerapan perkuliahan daring, tampaknya tidak melihat secara jelas kondisi mahasiswa. Seperti kondisi ekonomi, kondisi lingkungan. Belum lagi, perkuliahan daring terkesan dipaksakan oleh beberapa kampus hanya karena ingin mengikuti tren perkuliahan daring tersebut.
Alhasil, mahasiswa yang terkendala dengan akses jaringan, sudah pasti sulit atau bahkan tidak bisa untuk mengikuti kelas perkuliahan. Belum lagi mahasiswa yang hidup di tengah kondisi ekonomi yang pasang surut. Hal ini sebenarnya menjadi titik awal bagi birokrasi kampus dalam mengambil sebuah kebijakan. Apakah menerapkan perkuliahan daring ataukah menggunaan cara lain.
Di sisi lain, pembelian kuota internet sudah pasti membengkak. Tidak ada pilihan lain. Mahasiswa haruslah merogoh saku dalam-dalam untuk membeli kuota internet.
Seyogyanya, kampus seharusnya menyusun kebijakan baru seperti subsidi kuota kepada mahasiswa atau kebijakan bebas kuota internet. Hal ini menjadi hak mahasiswa yang seharusnya didapatkan. Karena mahasiswa sendiri tidak menggunakan fasilitas kampus dalam proses perkuliahan secara daring. Kebijakan tersebut juga akan mengurangi kemungkinan mahasiswa untuk keluar rumah hanya sekedar mencari koneksi wifi internet seperti di cafe atau bahkan d kampus.
Subsidi kuota ini bisa kita ambil contoh seperti di Universitas Aisyiyah Yogyakarta yang memberikan subsidi kota bagi mahasiswa aktif semester genap tahun 2019/2020 sebesar Rp. 250. 000,- per mahasiswa. Pemberian subsidi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemotongan biaya pendidikan pada semester ganjil Tahun 2020/2021.
Tidak hanya sampai disitu, sejauh ini perkuliahan daring dinilai hanya sebatas pemberian tugas secara online dan tidak ada transformasi ilmu yang terjadi antara mahasiswa dan tenaga pendidik. Seolah, tenaga pendidik tak punya intrik untuk membuat kelas perkuliahan daring menjadi menarik.
Birokrasi kampus tentu wajib mengevaluasi dosen dengan tingkah laku macam itu. Hal ini perlu dilakukan agar perkuliahan secara daring tetap sesuai dengan substansinya yaitu transformasi ilmu pengetahuan.
Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang lebih mendalam kepada dosen dalam melakukan kegiatan perkuliahan daring agar lebih siap dan tidak menjadi kendala dalam menghadapi situasi seperti ini.
-ooo-
Proyeksi Kedepan
Sistem kerja dan model perkuliahan daring memang sudah perlu disiapkan, agar tak menjadi kelabakan seperti sekarang ini. Situasi dan kondisi seperti ini tak ada yang bisa memastikan beberapa tahun kedepan akan terjadi lagi atau tidak.
Pelampung dan sekoci sudah seharusnya tersedia dikarenakan kapal tak tahu kapan ia akan tenggelam. Pun dengan sistem kerja dan model perkuliahan daring yang sepatutnya sudah masuk dalam agenda pembahasan pada pertemuan-pertemuan birokrasi kampus, dosen dengan mahasiswa di perguruan tinggi masing-masing. Agar pada saat kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan perkuliahan tatap muka, perkuliahan daring sudah siap digunakan dengan sistem kerja dan model yang telah diramu secara sama-sama
Kita tetap sama-sama berdoa agar semuanya kembali pulih seperti sedia kala dan memperbaiki kembali kelemahan-kelemahan yang telah kita temukan sama-sama.
Penulis: Akmal Maulana, Mahasiswa Sinjai
Tulisan tersebut di atas merupakan tanggung jawab penuh penulis















