OPINI, Suara Jelata— Tayangnya sebuah film yang menampilkan perilaku oligarki yang ada di Indonesia menjadi isu yang sangat disorot menjelang Pemilu 17 April 2019 kemarin.
Film tersebut mengungkapkan bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan waktu itu adalah pemilihan umum yang hasilnya sama saja, yaitu menguatkan posisi oligarki yang ada di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang mempunyai umur demokrasi yang dapat dikatakan masih muda yaitu 20an tahun. Berbagai media memberitakan, semakin kesini tingkat demokrasi Indonesia semakin menurun.
Berbagai spekulasi muncul kenapa demokrasi Indonesia semakin menurun? Mulai dari rezim yang katanya mulai mengarah pada otoritarianisme, UU ITE dipakai penguasa untuk memberengus lawan politiknya, adanya politik transaksional dan berbagai spekulasi lainnya.
Dalam pemeringkatan Indeks Demokrasi, Indonesia pernah berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti. Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 43.
Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada 2017 dan ditahun 2018 naik ke peringkat 65 satu tingkat diatas singapura, Menurut Divisi Intelligence Unit (EIU) dari majalah Inggris The Economist.
Gerakan atas nama rakyat sering dimunculkan ketika pemilihan umum terjadi. Mulai dari gerakan yang mengatasnamakan kaum buruh, mahasiswa, dan komunitas komunitas lingkungan.
Tetapi yang disayangkan adalah muncul kelompok yang mengeluarkan kalimat “17 April 2019, Hari dibajaknya demokrasi Indonesia”.
Gerakan intelektual sangat diperlukan untuk kesehatan dalam berdemokrasi, tetapi ketika sebuah kelompok menemukan dalam sebuah sistem terdapat permainan yang merugikan rakyat-rakyat kecil seperti permainan oligarki, langkah terbaik yang dilakukan untuk melawan hal tersebut adalah dengan tidak menabrak ketetapan bersama yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kita hidup dalam sistem demokrasi, seharusnya langkah kita dalam mencapai kemakmuran dan keadilan bagi rakyat-rakyat kecil adalah dengan tidak menghambat jalannya demokrasi.
Penentuan skor Indeks Demokrasi itu sendiri didasarkan pada lima kategori, yaitu proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Ketika sebuah kelompok “X” misalnya memunculkan sebuah seruan ataupun mengangkat isu terkait demokrasi indonesia dibajak ketika pemilu berlangsung ataupun mendekati Pemilu, berarti konsekuensi logisnya adalah secara tidak langsung kita menjadi salah satu pendukung turunnya indeks demokrasi Indonesia, karena statement tersebut bisa jadi akan berdampak pada turunnya partisipasi pemilih dalam pemilu.
Apakah mengeluarkan statement tersebut boleh dalam demokrasi? Boleh, tetapi kebebasan yang diberikan demokrasi bukan untuk menghambat demokrasi itu sendiri.
Mungkin alasan dengan dikeluarkan pernyataan tersebut dikarenakan melihat kondisi perpolitikan di Indonesia yang sangat jauh dari kata ideal yang seharusnya diharapkan terjadi. Mulai dari politisi yang mementingkan partai, politisi yang melakukan tindakan korupsi dan tidak memihak pada rakyat kecil, tetapi memihak pada kaum kaum pemilik modal, begitulah spekulasi dari realitas yang terjadi di masyarakat.
Ketika melihat politisi khususnya wakil rakyat yang katanya hidup bermewah-mewahan dengan uang rakyat, tetapi nyatanya kerja kerja yang dilakukannya tidak mewakili rakyat. Ketika melihat keburukan politisi demikian, coba kita melihat dari sisi lain.
Tak semua anggota DPR hidup glamor. Salah satu anggota DPR yang dikenal hidup sederhana dan bersaja adalah TB Soenmandjaja. Anggota Komisi II dari Fraksi PKS ini tidak canggung menggunakan angkutan saat pulang dan pergi kerja ke gedung DPR di Senayan. Bukan Bentley seharga 7 Miliyar, tapi angkot.
Satu kisah lagi, meski menjadi salah seorang anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun gaya hidup Dolvianus Kolo jauh dari kesan mewah.
Tidak hanya tinggal di sebuah rumah sangat sederhana, anggota dewan dari PDI Perjuangan ini tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga sehari-hari menggunakan transportasi umum.
Poin yang ingin penulis sampaikan adalah apakah kita yang katanya aktivis, penggerak gerakan intelektual dan memihak rakyat kecil mampu meneladani kedua politisi tersebut? Tentunya masih banyak politisi dengan cerita yang sama seperti beliau berdua.
Tugas kita bukanlah bergerak dengan gerakan yang membuat demokrasi terhambat, tetapi saat ini yang kita harus lakukan adalah bagaimana mendapatkan politisi Indonesia yang mempunyai orientasi seperti dua cerita diatas. Jangan sampai proses politik dihambat dan menjadikan masyarakat apatis terhadap proses politik, bukankah politik adalah salah satu jalan untuk memperjuangkan hak hak rakyat kecil?
Bukankah politisi merupakan salah satu pejuang hak rakyat rakyat kecil? Apakah kita terus menerus memandang politisi sebagai manusia paling hina? Tentu tidak, sebagai aktivis dan intelektual kita harus memunculkan isu-isu yang membuat masyarakat sadar agar tidak memilih politisi politisi palsu, sehingga politisi yang ada di Indonesia menjadi politisi-politisi seperti yang kita harapkan.
Penulis: Rahmat Zubair, Mahasiswa Ekonomi Pembangunan IPB yang merupakan peserta Rumah Kepemimpinan Regional 5 Bogor
Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.















