SINJAI, Suara Jelata—Alumni Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) dengan disiplin ilmu Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas Ushuluddin dan Komunikasi Islam (FUKIS), Tamsil menyebutkan bahwa IPK setinggi apapun tak menjamin kesusksesan. Sabtu, (5/10).
Dirinya lulus di tahun 2019 ini, dengan dinobatkan sebagai wisudawan terbaik 1 (satu) setelah berhasil meraih IPK tertinggi, yakni 3,97.
Namun baginya semua itu bukan jaminan mutlak akan sukses. Hal itu dituangkan dalam sebuah tulisan “IPK Tidak Menjamin Kesuksesan”.
Berikut tulisannya;
Index Prestasi Kumulatif (IPK) adalah sebuah bentuk prestasi yang sangat finansial yang dimimpikan untuk diraih di kalangan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya mahasiswa akademik. Sehingga berbagai upaya proses pembelajaran yang dilakukan agar mencapai impian tersebut.
IPK umumnya dijadikan standar kesuksesan mahasiswa. Selain itu IPK menjadi lebih penting lagi karena juga dijadikan patokan oleh berbagai perusahaan dalam mencari karyawan.
Tak heran, jika kamu dan banyak mahasiswa lainnya akan berusaha mati-matian demi mendapatkan IPK memuaskan.
Ketika IPK yang didapat nyatanya tidak sesuai harapan, kamu pun mulai pesimis menatap masa depan.
Rincinya, semua mahasiswa memiliki IPK dan ijazah hanya mengantarkan kita pada tahap wawancara yang disebut sebagai syarat administrasi.
Sedangkan, siklus mahasiswa 65% aktivitasnya hanya bangun tidur, sarapan pergi lalu ke kampus, kuliah, istirahat, pulang, makan lagi, lalu tidur. Itu terus berulang setiap harinya.
Maka jangan heran ketika disebut mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang). Banyak dari mereka terlalu takut untuk melangkah dan mengambil keputusan.
Sehingga fokusnya hanya kuliah sehingga bisa meraih IPK tinggi, hingga akhirnya muncul pertanyaan dalam benak saya.
Mahasiswa seperti itu mengejar target untuk mendapatkan IPK tertinggi, tapi tidak salah namun memunculkan suatu pertanyaan, apakah dengan IPK tinggi bisa menjadi kesuksesan?.
Maka tentu jawabannya hanya dua kata, “ya dan tidak”.
Sebuah pertanyaan yang menggambarkan keresahan terdalam pada diri saya yakni kehendak untuk memperoleh jawaban serta kejelasan.
Namun apa yang saya peroleh?. Yang ada hanya pertentangan dan ketidakselarasan. Pasalnya, saya sadari bahwa dunia ini irasional dan tidak akan dapat dimengerti.
Dinamika mahasiswa eksistensialis berpegang teguh pada prinsip bahwa saya harus meraih IPK tertinggi dengan fokus akademik, organisasi tidak penting bagi saya, sebab kuliah tujuan utama saya.
Adapun artinya, manusia yang bebas akan selalu berproses untuk menciptakan dirinya. Dengan kata lain, manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan memberi makna pada realitasnya sendiri.
Aspek ini tentu menjadi kendala tatkala seorang mahasiswa eksistensialis menyandang gelar ‘Sarjana’.
Mereka keluar membawa selembaran kertas berisikan nilai lalu melamar pekerjaan. Apakah nilai tersebut menjadi senjata untuk diterima dalam bekerja? Maka jawabannya sangat abstrak, mungkin saja iya dan mungkin saja tidak.
Tapi ada dua hal yang jika dimiliki oleh setiap pelamar pekerjaan maka dapat dipastikan akan lolos, yaitu skill, keahlian dan jaringan.
Pergulatan batin dan pikiran atas makna yang akan disematkan pada potensi skill yang dimiliki itu kelak dapat membawa pada tahap kesuksesan.
Hari ini pola pikir haru dibangun bahwa masa depan yang hendak kita kejar pada dasarnya sudah diketahui hasilnya.
Namun manusia memang harus senantiasa berbuat dan mengambil pilihan-pilihan itu meski sulit sekalipun.
Tapi ingat IPK yang tinggi tidak menjamin kesuksesan, tapi skill dan kemampuan dalam membangun jaringan yang mampu membuat kamu sukses.
*Penulis: Tamsil S.Sos, Alumni IAIM Sinjai.
*Catatan: Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis itu sendiri.