Makassar, Suara Jelata – Terus mencuatnya penolakan tambang pasir laut yang dilakukan oleh nelayan dan Aliansi Selamatkan Pesisir sampai hari ini terkesan diabaikan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Selawesi Selatan.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel, Muhaimin Arsenio mengatakan bahwa saat ini Pemprov melalui Dinas Lingkungan Hidup Sulsel memberikan peluang kepada enam perusahaan untuk membahas konsultasi publik tentang rencana tambang pasir laut jilid II di perairan Galesong, Takalar.
“Sekalipun ada penolakan keras dari nelayan. Seharusnya, konsultasi publik tidak bisa diteruskan lagi jika ada dari nelayan dan anggota yang terlibat dalam konsultasi publik menolak tambang,” tegasnya.
Lanjut, berdasarkan hasil investigasi Aliansi Selamatkan Pesisir, dari 6 perusahaan yang mengajukan permohonan izin lingkungan hidup untuk melakukan tambang pasir laut di perairan Galesong Utara.
“Ada 3 perusahaan yang mempunyai relasi kuat dengan Gubernur Sulsel, yakni PT. Nugra Indonesia Timur, PT. Banteng Laut Indonesia dan PT. Berkah Bumi Utama. Masing-masing alokasi ruang tambang yang diajukan perusahaan di atas berbeda-beda,” sebutnya.
Berdasarkan data permohonan izin yang diajukan ke tiga perusahaan tersebut dengan jumlah keseluruhan alokasi ruang tambang sebanyak 2.038,98 Ha. Menurut Muhaimin, sangat berbanding terbalik dengan luas wilayah Galesong utara yang hanya 1.511 Ha.
“Artinya, akan ada puluhan desa pesisir di Galesong terkena dampak dan diperkirakan sekitar ribuan nelayan yang terancam wilayah tangkapnya.
Selain itu, aktivitas reklamasi di Kota Makassar adalah sumber masalah utama bagi nelayan Galesong dan nelayan Makassar. kedua kegiatan ini sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi dan memberikan dampak yang besar terhadap keberlanjutan hidup nelayan,” pungkasnya.
Muhaimin menuturkan, hal itu dibenarkan dengan hasil studi WALHI terkait dampak tambang pasir laut yang dilakukan oleh Kapal Boskalis dan Jan De Nul, selama 8 bulan aktivitas pengerukan di Galesong.
“Telah merubah bentang alam pesisir, air laut keruh, 150 rompon nelayan hilang, pendapatan 6.474 orang nelayan menurut drastis, 28 rumah nelayan, 3 pemakaman umum rusak dan masyarakat pesisir rusak serta 3 orang tokoh nelayan di kriminalisas,” tandas Muhaimin.
Muhaimin juga membeberkan hasil riset GAKKUM Sulawesi bahwa selama 3 bulan aktivitas tambang pasir di laut Galesong sudah memberikan dampak negatif terhadap ekosistem laut dan abrasi pesisir serta menurunnya pendapat nelayan dan petani rumput laut.
“Dampak pembangunan proyek reklamasi CPI Makassar telah menggusur 43 kepala keluarga nelayan Mariso dan menghilangkan wilayah tangkap nelayan. Selain ini, reklamasi Makassar New Port (MNP) juga sudah memberiakan dampak negatif,” katanya.
Sedangkan, ada sebanyak 277 orang nelayan laki-laki dan perempuan pesisir kehilangan akses dan ruang tangkap atas laut. Seharusnya, kata Muhaimin, data ini menjadi pertimbangan bagi Pemprov Sulsel, sebelum memberikan izin kepada perusahaan.
Perlu kami tegaskan lagi bahwa aktivitas tambang pasir laut tahun lalu dan reklamasi pesisir sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), merusak lingkungan. Tidak ada jalan bagi Dinas Lngkungan Hidup Sulsel memberikan izin lingkungan kepada enam perusahaan tambang,” tuturnya
Atas dasar tersebut, Aliansi Selamatkan Pesisir menuntut agar dihentikan reklamasi Makassar serta menolak permohon izin yang diajukan oleh semua perusahaan. Selain itu, mereka meminta pemulihan laut Galesong dan pesisir Makassar. (*)