OPINI, Suara Jelata— Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Siapa sangka virus baru yang dikenal dengan nama Covid-19 yang pertama kali muncul di kota Wuhan Cina bulan Desember tahun lalu akan menjadi sebuah bencana besar dan dengan cepat menyebar di berbagai Negara di dunia. imbas dari Covid-19 dirasakan hampir diseluruh sektor kehidupan, termasuk ekonomi.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa Covid-19 sebagai bencana non alam yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan penerimaan Negara.
Social distancing sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 telah menurunkan aktivitas ekonomi dan produktivitas pelaku usaha yang berujung pada penurunan penerimaan pajak.
Selain itu Covid-19 telah melemahkan nilai tukar rupiah dan menurunkan daya beli masyarakat. Adapun respon akan hal tersebut, pemerintah mengambil strategi untuk menjaga eksistensi usaha di beberapa sektor yang terdampak Covid-19 dengan memberikan stimulus ekonomi berupa pemberian insentif pajak.
Sebelumnya pemerintah telah mengatur pemberian insentif pajak dengan peraturan PMK-23/PMK.03/2020, namun peraturan ini ternyata tidak mencakup semua sektor usaha yang terdampak.
Semakin banyak sektor usaha yang harus menanggung beban ekonomi akibat meluasnya Covid-19, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah.
Adapun Pemberian insentif ini penerapannya tidak berlaku sama untuk seluruh jenis pajak yang disesuaikan dengan konsep penerapan masing-masing pajak. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua jenis pajak penghasilan (PPh) mendapatkan insentif dan tidak semua wajib pajak mendapatkan insentif pada PMK ini.
Begitu juga dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tidak semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mendapatkan fasilitas ini. Setelah beredar wacana pemerintah memberikan insentif pajak kepada wajib pajak, akhirnya pemerintah melalui menteri keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 (PMK 23 Tahun 2020) Tentang Instentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Covid-19.
Pemberian insentif ini sebagai respon dari pemerintah atas menurunnya produktivitas para pelaku usaha. Sebelumnya wacana mengenai pemberian intensif pajak ini sudah sempat beredar di kalangan wajib pajak dikarenakan roda perekonomian wajib pajak yang menurun drastis akibat wabah ini.
Covid-19 sendiri sudah dinyatakan sebagai bencana non alam yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan juga penerimaan negara oleh pemerintah.
Pemberian insentif ini akan berlangsung selama 6 bulan, yakni dari bulan April sampai dengan September 2020. Artinya pasca peraturan ini disahkan penyampaian SPT Masa April sampai dengan Masa September 2020 akan mulai diberlakukan penerapan insentif kepada wajib pajak yang melaksanakan kewajiban perpajakan yang disebutkan dalam PMK tersebut.
Pemberian insentif ini penerapannya tidak berlaku sama untuk seluruh jenis pajak yang disesuaikan dengan konsep penerapan masing-masing pajak.
Adapun yang berhak menerima intensif pajak, yaitu, pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Penerima insentif adalah wajib pajak yang berstatus sebagai pegawai dari pemberi kerja. Pemberi kerja yang pegawainya menerima insentif adalah pemberi kerja yang memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sebagaimana tercantum pada lampiran PMK 23 Tahun 2020, sedangkan pegawai yang menerima insentif adalah pegawai yang memiliki penghasilan bruto dalam setahun di bawah atau tidak lebih dari 200 juta rupiah. Artinya wajib pajak yang berstatus sebagai pemberi kerja tetap menjalankan kewajibannya untuk melaporkan SPT PPh Pasal 21 dengan memberikan tambahan penghasilan kepada wajib pajak yang berstatus sebagai pegawai.
PPh Pasal 22 Impor, Kedua adalah PPh Pasal 22 Impor yang diberikan insentif berupa pembebasan pembayaran pajak. Pembebasan ini merupakan efek dari berkurangnya aktivitas pengiriman barang untuk masuk ke Indonesia guna mencegah penyebaran virus yang semakin masif perkembangannya di Indonesia, baik itu penghentian sementara dari negara asal atau pengurangan aktivitas belanja dari pelaku impor di Indonesia.
Ketiga, Angsuran PPh Pasal 25
Ketiga adalah PPh Pasal 25 yang akan menerima insentif dengan pengurangan besarnya angsuran sebesar 30% dari total angsuran yang seharusnya dibayar selama 6 bulan ke depan. PPh Pasal 25 masuk ke dalam aturan ini karena banyaknya pelaku usaha yang mulai berkurang aktivitasnya atau bahkan menghentikan usahanya untuk sementara selama wabah ini belum berhenti. Ketika kondisi seperti ini produktivitas wajib pajak menjadi turun akan tidak adil jika wajib pajak yang selama ini membayarkan angsuran jenis pajak ini tidak diberikan insentif. Selama peraturan ini, wajib pajak tidak perlu mengajukan pengurangan angsuran untuk mendapatkan insentif karena akan berlaku secara otomatis.
Keempat, Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terakhir ada PPN yang diberikan insentif selama masa wabah Covid-19 ini. Untuk PPN perlakuan pemberian insentif berbeda dengan ketiga jenis pajak sebelumnya.
Insentif PPN yang diberikan adalah dengan kemudahan proses pemberian restitusi kepada PKP yang telah ditentukan pada PMK 23 Tahun 2020 selama 6 bulan ke depan di mulai pada masa april. Ada perbedaan batasan nominal restitusi yang diberikan kepada PKP Eksportir dan PKP Non Eksportir.
Untuk PKP yang bertindak sebagai eksportir tidak ada batasan nominal PPN yang akan dilakukan restitusi sedangkan untuk PKP Non Eksportir diberikan percepatan restitusi dengan nilai paling banyak 5 miliar rupiah.
Kepada PKP Eksportir mendapatkan fasilitas yang tak terbatas dalam pengajuan restitusi kali ini. Hal itu disesuaikan dengan penerapan tarif PPN yang selama ini diberikan oleh para eksportir. Bagi PKP yang masuk ke dalam klasifikasi yang mendapatkan insetif pajak untuk tidak perlu mengajukan permohonan penetapan PKP beresiko rendah ke KPP terdaftar.
Penulis: Ummy Kalsum, Jurusan Ekos IAIM Sinjai
Opini ini diluar dari tanggung jawab Redaksi