NewsOpini

Puasa Versi Imam Ghazali Bukan Sekedar Formalitas

×

Puasa Versi Imam Ghazali Bukan Sekedar Formalitas

Sebarkan artikel ini

OPINI, Suara Jelata— Ibadah puasa merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Ibadah ini terdapat di rukun Islam ke-4 dimana merupakan ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.

Puasa di bulan ramadhan termasuk ibadah wajib yang sudah dijelaskan melalui firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Maka menjadi kewajiban bagi setiap umat muslim terutama yang baligh melaksanakan ibadah puasa. Kecuali mereka yang memang tidak mampu yang alasannya dapat dibenarkan sesuai syariat maka tentu diperbolehkan, seperti sedang dalam sakit parah yang sekiranya jika berpuasa maka tidak bisa meminum obat, tentu hal tersebut merupakan variabel yang berbeda.

Ibadah yang terdapat di bulan ramadhan penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan rasa syukur bagi umat muslim. Sebab tidak semuanya orang Islam diberikan kesempatan umur dan sehat dalam menikmati bulan yang penuh dengan ampunan ini. Selain itu puasa di bulan ramadhan hanya dapat kita nikmati selama satu tahun sekali.

Bisa jadi orang yang berkesempatan di hari ini dengan diberikannya nikmat umur dan sehat, puasa di tahun berikutnya belum tentu diberikan nikmat umur dan sehat seperti yang dirasakan saat ini. Untuk itulah cara orang salafi terdahulu mensyukuri nikmat puasa dengan persepsi, seolah-olah hari ini adalah puasa yang terakhir sehingga memberikan implikasi yang khusyuk, ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.

Ibadah puasa tentu berbeda dengan ibadah lainnya. Sebab puasa sifatnya sangat rahasia. Tidak ada yang mengetahui kelangsungan puasa seseorang, kecuali pelakunya dan Allah SWT. Meski ikut makan sahur dan buka puasa bersama kita, bukan jaminan bahwa dia telah berpuasa seharian. Bisa saja di waktu siang bolong dia makan tanpa sepengetahuan orang.

Selain itu keutamaan ibadah puasa di bulan ramadhan adalah dilipat gandakan pahalanya hingga tak terhingga. Dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah di Lathaif Al-Ma’arif mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibanding amalan lainnya, maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam.”

Makanya, puasa dikatakan amanah. Sebuah amanah haruslah dilangsungkan dan dikerjakan.  Pemberian amanah puasa ini tentu bukan tanpa maksud. Ada banyak hikmah dan rahasia di dalamnya. Puasa tidak cukup sebatas menahan lapar dan haus, puasa tidak sesempit itu diartikan. Puasa bagaimana kita juga mampu menahan hawa nafsu atas sifat-sifat hewani yang melekat terhadap diri kita.

Puasa sebenarnya, yaitu pengejawantahan menahan lapar dan haus harus disertai komitmen ikhlas dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ada banyak orang berpuasa tapi disisi lain masih menjalankan larangan-larangan Allah SWT. Seperti kasus orang lagi berpuasa menahan lapar dan haus namun disisi lain melakukan melalukan maksiat kepada Allah, gibah ke orang lain, menjelekkan orang lain, menghardik orang lain, tentu itu suatu ilustrasi yang paradoks.

Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali dalam karyanya bertajuk Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa. Beliau mengatakan, “Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.

Puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam. Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara dzahir. Mereka tidak mengetahui apa esensi puasa sebenarnya.

Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Ini puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam.

Sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa. Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.

Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.

Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada puasa tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat.

Mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT. Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.

Namun kita bisa mengukur diri kita sendiri berada di tingkatan ke berapakah kita? Tentu ini harus diikhtiarkan secara maksimal. Karena kewajiban seorang hamba adalah berikhtiar sementara jika dikorelasikan ke tingkatan puasa di atas, hanyalah orang-orang tertentu yang bisa melaksanakannya sehingga nantinya kita ditakdirkan ke tingkatan ke berapa, antara umum, khusus, dan paling khusus adalah sejauh mana kita  berikhtiar dan bertawakal kepadaNya.

Dari beberapa tingkatan di atas, hanyalah orang-orang pilihan yang dapat mencapainya. Pencapaian juga tidak diukur sebatas pengakuan diri secara formalitas bahwa kita telah beribadah puasa melainkan adalah aplikasi konkrit memahami ilmu puasa dan menjalankannya.

Terakhir Ahmad Wahib pernah berpesan, kita sering mengaku diri kita Islam dan Muslim, tapi cara berfikir kita dan perilaku kita tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Untuk itulah ibadah puasa maupun ibadah-ibadah lainnya bukan sebatas pengakuan diri secara formalitas tetapi idealnya adalah aplikasi konkrit mempelajari ilmunya dan mengamalkannya.

Dari jenis tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Untuk itulah, Imam Ghazali sudah mengajarkan ke kita bahwa ibadah puasa yang terbagi menjadi 3 tahap tersebut mengisyaratkan ke umat muslim, bahwa puasa bukan sekedar formalitas tetapi mampu berdampak positif dalam kebaikan kita sehari-hari. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa di Bulan Ramadhan meskipun saat ini Indonesia masih berada di tengah Pandemi.

Penulis: Hanafi, Mahasiswa IAIN Madura