Suara Jelata – Tak bisa dinafikan kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia merupakan hasil perjuangan yang tak kenal lelah. Indonesia merdeka tampil dengan jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa harapan, idealisme, dan nasib bangsa ini akan tercapai pasca kemerdekaan.
Pemikiran rasional mereka patut diapresiasi. Luas wilayah suatu negara dan kumulatif besarnya penduduk bukan jaminan yang menunjukkan kebesaran harkat maupun martabatnya sebagai suatu bangsa. Parameter yang sangat substansial tak lain adalah kualitas dan tekad bangsa tersebut. Kualitas maupun tekad yang sudah mengakar kuat dan menjadi suatu prinsip hidup merupakan sikap mentalitas yang merefleksikan kuat juga lemahnya jiwa bangsa.
“….. Kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan jiwa kita sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang menjadi anggota dari padanya.” Sebagaimana ditulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1969), di setiap kesempatan dalam pidatonya Bung Karno berulangkali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa dengan cara semua komponen bangsa harus mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya agar tujuan cita-cita proklamasi bisa terealisasi.
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. Terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka suku bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru dalam satu tarikan napas nasionalisme Indonesia.
Nafas Nasionalisme
Harapan dan pesan kedua tokoh proklamator bapak bangsa di atas patut menjadi bahan refleksi dalam usia 79 tahun ini. Nafas nasionalisme perlu juga digaungkan setiap waktu. Berbicara nasionanalisme harus dielaborasikan dalam aras kebersamaan, seperti gotong royong. Dari azas kebersamaan ini setiap individu dapat merasakan adanya kebebasan serta kesempatan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan dan merasakan arti dari suatu keadilan sosial dan ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini nasionalisme sangat diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Spirit nasionalisme diharapkan dapat menjadi motivator dalam kelangsungan hidup suatu negara. Di Tengah era disrupsi ini, dengan berbagai informasi yang tak terbendung, apabila tidak dilandasi oleh prinsip yang membumi dalam nafas nasionalisme dikhawatirkan bangsa Indonesia akan terbawa arus yang tidak selaras dengan tujuan nasional.
Informasi yang marak muncul di ranah publik tersebut tidak semuanya positif, namun banyak juga yang berisi berbagai hal yang kontradiksi dengan kondisi riil alias hoaks. Inilah yang perlu diantisipasi. Berita hoaks yang dominasinya berisi ujaran kebencian dengan memojokkan kelompok satu dengan lainnya, apabila tidak dikaji kebenarannya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, yang sudah dengan susah payah dirintis dan dibangun oleh para pendiri bangsa ini.
Untuk itu semangat nasionalisme perlu ditanamkan ke semua komponen bangsa ini terutama generasi milenialnya. Membumikan rasa nasionalisme sampai tingkat pengakarannya menjadi kata kunci yang perlu dilaksanakan sampai tataran praksis, seperti menerapkan pola budaya yang sudah menjadi kepribadian bangsa, membiasakan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengutarakan pendapat secara santun, mencintai produk bangsa sendiri, dan berbagai tindakan lain yang berorientasi pada rasa cinta tanah air.
Karakter Bangsa
Sebagaimana gagasan besar Tri Sakti, presiden pertama Indonesia Sukarno dalam pidato Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1964 yang menegaskan tiga peradigma besar yang sangat substansial yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dengan mengaplikasikan gagasan Tri Sakti tersebut, Indonesia dapat menjadi negara besar, karena dinamika pembangunan yang dijalankan dilandasi pembangunan karakter bangsa yang berorientasi pada kebudayaan nasional.
Diyakini bahwa kemerdekaan bukan barang yang jadi begitu saja. Ia senantiasa merupakan proses, perjuangan, tumbuh-kembang, dan pemekaran. Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 juga tidak menjamin kemunculan kemerdekaan sebagai sebuah barang jadi yang segera dinikmati oleh bangsa Indonesia. Dalam dinamika perjalanan waktu sampai saat ini, pergumulan dan dialektika internal maupun eksternal kiranya perlu menjadi pemahaman bersama, bahwa bangsa yang memiliki harapan maju ke depannya, perlu adanya dialektika positif yang muaranya demi kepentingan bangsa dan negara adalah segala-galanya.
Untuk itu, kapabilitas masing-masing komponen bangsa perlu melakukan penjelajahan waktu (time-travel) yaitu mengenang jauh ke masa lalu dan membayangkan jauh ke masa depan. Diandaikan gerak tumbuh pohon kehidupan bangsa harus senantiasa mengingat dari mana bangsa ini bermula, di mana mulai berjejak, karunia potensi yang dimiliki, dari akar historis maupun tradisi apa bangsa ini tumbuh (Yudi Latif, 2023).
Gerak kehidupan juga harus bisa membayangkan kemungkinan mendatang dengan mengantisipasi perubahan, menyesuaikan diri dengan elaborasi, berwawasan kosmopolitan dengan kesiapan belajar pada praktik terbaik dari sumber mana pun, seraya menyiapkan perencanaan dan haluan masa depan yang diperlukan untuk menjadi dasar dalam berpikir dan bertindak.
Untuk itu, sekali lagi diperlukan kekuatan mental untuk percaya diri pada pilihan sistem sendiri yang selaras dengan kepribadian dalam berkebudayaan. Dalam kaitan itu, pembangunan karakter bangsa menjadi sangat fundamental. Dengan mengedepankan pembangunan karakter bangsa, kiranya nafas dari tema HUT Ke-79 Kemerdekaan RI terus melaju untuk Indonesia maju dapat diimplementasikan dalam simpul-simpul yang paling elementer dalam bingkai persatuan dan kesatuan nasional.
Terlebih Lagi dalam tema besar tahun ini mencanangkan Nusantara Baru Indonesia Maju yang memiliki makna bahwa untuk mencapai tujuan nasional yang diharapkan dibutuhkan semangat baru dan kesetaraan. Dalam perjuangan yang baru ini, negara tetap berprinsip pada nilai-nilai luhur dengan memperhatikan kodrat alam dan budaya yang sudah mengakar kuat sejak Nusantara ini berdiri. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
dan
Ketua Sanggar Seni Ganggadata Magelang