Suara Jelata – Profesi guru memiliki konsekuensi untuk selalu mengembangkan profesinya dalam bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan. Tentunya pengembangan profesi tersebut harus konsisten dalam menapaki jejak waktu sampai akhir hayatnya. Salah satu pengembangan profesi tersebut di antaranya adalah menulis baik dalam bentuk karya tulis ilmiah penelitian atau pun artikel ilmiah populer.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa publikasi ilmiah guru dalam bentuk karya tulis ini masih lemah dan kurang menggembirakan. Padahal guru sebagai bagian dari ilmuwan pendidikan mempunyai kewajiban untuk meningkatkan potensinya. Seperti yang terkandung dalam sebuah slogan publish or perish, bahwa seorang guru yang tidak mau menulis dan mengemukakan pendapat, ide atau gagasannya, maka ia akan tersingkir dari dunia akademik.
Terobosan Baru
Para guru seharusnya berkewajiban melakukan pemikiran-pemikiran dan penelitian-penelitian ilmiah dalam rangka mencari terobosan-terobosan baru demi kemajuan dan pengembangan dunia pendidikan. Resultansi pemikiran dan penelitian ilmiah tersebut hendaknya juga dipublikasikan kepada semua kalangan. Harapan dari publikasi tersebut, semua komunitas dapat memanfaatkan secara komunal, bahkan kalau dimungkinkan secara universal. Dan yang pasti, tulisan ilmiah para guru tersebut tidak hanya berhenti dalam bentuk tulisan sebagai pemanis meja atau hiasan di rak buku saja (Sri Kristiati, 2015).
Keengganan menulis pada guru, seringkali hanya karena alasan klise, seperti belum menemukan masalah, atau tidak ada masalah. Padahal sesungguhnya banyak sekali permasalahan yang dapat digali baik saat pembelajaran atau di luar pembelajaran terkait dengan fenomena pendidikan. Berbagai fenomena yang oleh sementara dianggap bukan permasalahan, di mata guru yang aktif, kritis, kreatif, dan inovatif sangat dimungkinkan untuk menjadi problematika yang sangat menarik.
Indikator Kelemahan
Adapun lemahnya budaya menulis para guru dapatdilihat dari beberapa indikator, di antaranya, pertama, lemahnya guru dalam menulis bahan ajar. Lemahnya kemampuan guru dalam menulis bahan ajar dapat disebabkan karena memang masih belum mantapnya kualitas guru itu sendiri. Ditambah kurangnya pelatihan workshop/training yang berorientasi pada tujuan agar setelah workshop/training tersebut, guru memiliki bekal kemampuan untuk menulis bahan ajar. Namun setelah workshop para guru tidak pernah mencoba menyusun bahan ajar. Malahan menggunakan bahan ajar dari penerbit lain. Sebenarnya kalau guru mau menyusun bahan ajar sendiri akan menjadikan peserta didiknya bangga, karena bahan ajar yang dipelajari disusun sendiri oleh gurunya. Kurangnya keinginan untuk mencoba tersebut mengindikasikan masih lemahnya budaya menulis dan kualitas guru yang bersangkutan.
Kedua, kelemahan dalam menyusun administrasi pembelajaran. Sampai saat ini masih banyak para guru yang belum mampu menyusun administrasai perangkat pembelajaran seperti silabus, RPP, catatan pelaksaaan pembelajaran, catatan kemajuan belajar peserta didik dan sebagainya. Padahal perangkat administrasi guru tersebut selalu berkelindan dengan aspek penulisan sebagai bentuk akuntabilitasnya.
Ketiga, kurangnya membaca. Hal ini dapat dilihat dari proses pembelajaran yang jarang mampu merangsang peserta didik untuk menulis dan membaca. Menulis mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan kemampuan membaca karena membaca adalah gerbang untuk mendapatkan informasi sedangkan informasi adalah sumber untuk menuangkan dalam bentuk tulisan.
Berdasarkan hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) menegaskan bahwa prestasi literasi membaca peserta didik Indonesia secara signifikan berada di bawah rerata internasional dan peringkat 10 negara terendah. Dengan demikian, perlu perhatian khusus terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi literasi tersebut, terutama untuk sekolah swasta di desa dan kota kecil. Apabila peserta didik tidak suka membaca tentunya juga diawali dari gurunya yang memang kurang membuka cakrawala pengetahuannya dengan menambah wawasan disiplin ilmunya dengan banyak membaca.
Keempat, tidak adanya budaya menulis di sekolah. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah, selain pada mata pelajaran bahasa Indonesia guru kurang memberikan aktivitas peserta didik untuk menulis. Kegiatan menulis hanya difokuskan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, padahal mata pelajaran lain juga seyogyanya membiasakan menulis kepada peserta didik. Dengan adanya budaya menulis sebagai produk pembelajaran, diharapkan juga guru dapat meningkatkan kemampuannya untuk menulis.
Dengan demikian walaupun sampai sekarang sudah banyak program baik dari pemerintah maupun lembaga lain untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menyusun karya tulis, namun kesemuanya itu tidak ada artinya kalau motivasi tidak tumbuh dari guru sendiri. Dengan motivasi yang kuat dari dalam diri para guru akan melahirkan semangat untuk mulai belajar menulis dan menghasilkan karya yang berguna.
Selain itu, apabila guru sudah menunjukkan bukti kongkret tulisannya dapat dipublikasikan akan dapat menjadi parameter keteladanan. Sebagaimana diketahui yang diinginkan peserta didik sekarang adalah bukti kongkret dari yang diajarkan gurunya. Bila gurunya mengharuskan peserta didik menulis, tentunya gurunya juga harus sudah mengawali terlebih dahulu. Karena tak bisa dinafikan, keteladanan menjadi unsur awal yang dapat memicu lahirnya perilaku berkarakter sebagaimana ingin ditanamkan dalam diri individu sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang