Opini

Ngaku Ibu Kota, Tapi Mirip Kampung Kumuh

×

Ngaku Ibu Kota, Tapi Mirip Kampung Kumuh

Sebarkan artikel ini
Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. (foto: Ihsan)

Suara Jelata Saya paham. Ini isu sensitif. Bukan sekedar soal status administratif. Tapi soal harga diri, soal rasa memiliki, soal arah masa depan.

Isu ini membelah. Diam-diam tapi dalam. Antara aspirasi warga Sofifi yang merasa sudah pantas punya kota sendiri-dan kekhawatiran warga Oba dan Tidore yang merasa pelan-pelan ditinggalkan. Antara harapan yang tumbuh dan kecemasan yang mengendap.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Sebagai Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos tidak bisa pura-pura tidak tahu. Tidak boleh diam. Tidak boleh lari dari debat ini. Apalagi hanya sibuk bikin konten Tik tok, sementara rakyat berdebat, pro kontra saling serang. Suara makin panas, dan arah makin kabur. Sebab faktanya pembangunan Sofifi tetap jalan di tempat.

Nah, Mendagri sudah pertegas, “Ngapain bicara DOB,” katanya. Saya tidak akan melawan itu. Saya juga tidak mau memaksakan sesuatu yang belum waktunya. Kota bukan soal nama. Tapi soal layanan, infrastruktur, SDM, tata ruang. Jangan buru-buru ingin status kota, padahal jalan rusak, air tidak mengalir, sampah menumpuk dan ASN tidak disiplin. Kita bangun dulu Sofifi. Sofifi harus dibenahi dulu dari hulu ke hilir. Pemerintahan efektif dulu. Kantor gubernur hidup dulu. Pelayanan publik menyala dulu, baru kita bicara format administratif.

Jangan menjadikan DOB (Daerah Otonomi Baru) sebagai agenda politik. Lebih baik jadikan sebagai agenda pembangunan. Buktikan dulu, bukan teriakan dulu. Kalau ingin kota, ya tunjukkan wajah kota, perilaku kota, ekonomi kota, baru rakyat percaya. Pusat pun akan mempertimbangkan itu.

Masalahnya bukan hanya soal setuju atau tidak setuju DOB. Tapi soal mampu atau tidak mampu. Karena membentuk kota bukan Cuma soal tanda tangan. Tapi soal anggaran. Dan kita tahu, APBD Maluku Utara masih megap-megap. Belanja wajib saja kadang ngutang. Infrastruktur dasar Sofifi pun belum selesai. Masih banyak lubang, banyak lumpur, banyak pula kantor kosong.

Kita mau minta status kota, tapi RSUD belum layak. Sekolah dan guru-guru tidak memenuhi standar mutu pendidikan. Air bersih belum menjangkau semua rumah. Apa kita mau tambahkan satu struktur pemerintahan baru, dengan OPD baru, ASN baru, gedung baru, sementara yang sekarang saja masih morat-marit?

APBD kita seret. Tipis. Harus dihitung cermat. Harus diprioritaskan secara hati-hati. Jangan sampai demi mengejar nama, layanan dasar justru dikorbankan.

Jangan sampai rakyat Cuma dapat papan nama: “Selamat Datang di Kota Sofifi”, tapi tetap mengantre di Puskesmas yang bocor, lewat jalan yang berlubang, dan belajar di sekolah dengan guru kualitas paling buruk.

Apa gunanya status kota, kalau wajahnya masih luka-luka? Kota bukan soal nama, tapi soal nyawa pelayanan. Jangan beli baju baru, kalau dapur masih kosong.

Jadi, kalau saya harus memilih: saya pilih pembangunan, bukan DOB. Saya pilih persatuan, bukan perpecahan. Saya pilih kualitas layanan, bukan status semu.

Sofifi harus dibangun dulu. Serius, rapi dan menyeluruh. Jalan, sekolah, air bersih, layanan publik, semua harus hidup dan terasa. Bukan sekedar dilihat, tapi dirasakan rakyat setiap hari.

Baru setelah itu kita bicara soal status. Soal format administratif. Soal kota atau bukan kota. Karena yang kita butuhkan hari ini bukan Sofifi dalam bentuk SK, tapi Sofifi yang benar-benar hidup, meski masih berstatus kelurahan. Karena kota itu bukan gelar, kota itu bukti. (*)

Penulis:
Ihsan
Widyaprada Ahli Madya
BPMP Maluku Utara