Opini

Jejak Orang Nias di Nagari Ketaping: ‘Dari Hutan Belantara ke Tanah Kerukunan’

×

Jejak Orang Nias di Nagari Ketaping: ‘Dari Hutan Belantara ke Tanah Kerukunan’

Sebarkan artikel ini
Warga Nagari Ketaping. (foto: Muhammad Fawzan)

Suara Jelata Di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, berdiri sebuah nagari yang menyimpan kisah keberagaman unik yaitu Nagari Ketaping. Di wilayah yang identik dengan adat Minangkabau ini, hidup berdampingan dua etnis yang berbeda akar dan keyakinan, Minang dan Nias dalam harmoni yang jarang ditemui di tempat lain. Kisah ini berawal lebih dari seabad lalu, dari tangan seorang pemimpin visioner bernama Datuak Kasupian.

Sekitar tahun 1901, Ketaping masih berupa hutan belantara. Datuak Kasupian, yang tengah membuka wilayah baru, mendatangkan sekelompok orang Nias dari Padang. “Mereka dikenal sebagai pekerja keras dan tangguh di ladang,” tutur Bahrun Hikmah, penerus gelar Rajo Sampono yang kini menjadi pemimpin adat di Ketaping. Orang-orang Nias inilah yang kemudian menebas semak, membuka lahan, dan menanam fondasi awal bagi berdirinya Nagari Ketaping.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Pada awalnya, masyarakat Nias hidup sederhana, bekerja sebagai petani dan peternak babi, profesi yang lumrah dalam kultur mereka. Namun, berkat interaksi yang intens dengan masyarakat Minang, terjadi proses asimilasi budaya yang halus. Mereka mulai belajar bahasa Minangkabau, mengikuti musyawarah adat, bahkan ikut bergotong royong dalam acara nagari. Lambat laun, batas antara “pendatang” dan “anak nagari” semakin menipis.

Perubahan besar terjadi ketika Rajo Sampono, pemimpin adat yang karismatik memutuskan untuk memberikan gelar Datuak kepada tokoh-tokoh Nias. Langkah ini bukan keputusan kecil. Dalam struktur sosial Minangkabau, gelar Datuak hanya diberikan kepada orang yang diakui sebagai bagian dari suku dan memiliki tanggung jawab adat.

“Ini adalah bentuk penerimaan tertinggi dalam sistem sosial kami,” ujar Bahrun Hikmah.

Selain itu, masyarakat Nias juga diwajibkan menjalani Limbago Dituang, sebuah prosesi simbolik yang menandai penerimaan resmi mereka sebagai anak nagari.

Ketika masyarakat Nias diperbolehkan mengenakan pakaian adat Minangkabau dalam upacara pernikahan, momen itu menjadi simbol integrasi kultural yang mendalam. Tidak lagi ada sekat yang memisahkan “yang asli” dan “yang datang kemudian”. Mereka telah menjadi bagian dari satu tubuh sosial bernama Nagari Ketaping.

Namun harmoni tidak berarti tanpa ujian. Pada tahun 2015, sempat muncul gesekan akibat limbah peternakan babi yang mencemari irigasi. Konflik ini nyaris membelah masyarakat. Tapi berkat kepemimpinan Rajo Sampono, situasi berhasil diredam. Dengan mediasi yang melibatkan pemerintah nagari dan Dinas Pertanian, disepakati kompensasi yang memulihkan hubungan antarwarga.

Kini, lebih dari seabad setelah kedatangan pertama orang Nias, Nagari Ketaping menjadi contoh nyata bahwa adat Minangkabau yang lentur mampu menampung perbedaan. Seperti pepatah lama, “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”, air mengalir karena bambu, dan mufakat terwujud karena kebijaksanaan bersama. (*)

Penulis: Muhammad Fawzan