Opini

Muatan Liputan Seni Budaya

×

Muatan Liputan Seni Budaya

Sebarkan artikel ini
Seni pertunjukan dapat menjadi bahan liputan yang analitis dan menarik. (foto: Dwi Anugrah)

Suara Jelata Seringkali kalau kita membaca suatu event kesenian liputan para wartawan media massa kadang antara media satu dengan lainnya substansi yang dipaparkan tidak jauh berbeda. Malahan ada yang rata-rata hampir sama baik angle maupun susunan gramatikalnya. Pada umumnya seiring dengan perjalanan zaman, berbagai event kesenian atau seni budaya baik di lingkungan urban atau pedesaan di antara panitia yang terlibat sudah membuat sinopsis atau rilis baik untuk penonton mapun para wartawan yang akan meliput. Seringkali yang menjadi rujukan para wartawan hanya rilis atau sinopsis tersebut dan kurang menggali secara intensif dari para nara sumber, sehingga kesamaan antar media satu dengan lain tak dapat dihindari.

Namun tak dapat disangkal, bahwa media cetak dan elektronik mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memperluas pemberitaan dan pengetahuan jagat kesenian. Selama ini memang ada tiga pendekatan media massa terhadap event kesenian. Pertama adalah straight news yang bersifat informatif tentang peristiwa yang sedang terjadi seperti pementasaan, pameran, dan seminar seni yang akan ataupun telah berlangusng  pada hari, tanggal, dan jam tertentu. Sebagian besar straight news mengacu pada struktur piramida terbalik (inverted pyramid) yaitu penulisan berita dengan mengemukakan fakta paling penting, kemudian diikuti bagian-bagian yang dianggap agak penting, kurang penting, dan seterusnya.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Kedua adalah feature article biasanya dikembangkan dari berita yang berkurang kadar aktualitasnya, misalnya profil seniman yang diulas berdasarkan hasil wawancara.  Ketiga adalah tulisan ilmiah yang bersifat pengamatan, analisis, dan kritik oleh seorang praktisi atau ahli  kesenian.

Pada dasarnya fungsi utama dari pemberitaan atau reportase sebuah event kesenian adalah menarik atensi masyarakat agar pada event itu banyak orang datang ke tempat pementasan, seminar, pameran, atau kegiatan kesenian lainnya. Parameter keberhasilannya dilihat dari kuantitas penonton yang mendatangi tempat kegiatan. Reportase di atas akan dengan mudah dibuat oleh wartawan umum  tanpa pengetahuan khusus kesenian.  Aspek yang paling penting dari event kesenian tadi paling tidak sudah mengacu pada unsur-unsur jurnalistik 5W + 1H, yaitu What, Where, When, Who, Why, dan How.

Teknis Tersendiri

Persoalan yang elementer sekarang ini, adakah sumber daya yang mampu menulis tiga macam tulisan tersebut? Untuk teknis reportase sebagai penulis berita sudah banyak sekolah publisistik dan jurnalistik yang menelorkan sumber daya manusia terlatih dan terampil menjadi reporter di media massa. Namun untuk bidang kesenian yang dikatakan sangat spesifik ini memang dibutuhkan teknis tersendiri yang tidak hanya sekedar informatif.

Namun sampai saat ini, mereka yang concern untuk menulis event atau wacana kesenian masih terbatas sekali. Tidak hanya dari para wartawan saja, namun para pendidik seni ataupun seniman sendiri jarang yang tertarik pada bidang penulisan. Walau kadang dari beberapa media meminta tulisan para seniman yang reputasinya tak disangsikan, namun setelah dikoreksi redaksi bahasa ungkapnya hanya dapat dipahami untuk dirinya sendiri dan gramatikalnyapun tidak runtut dan sistematis. Padahal media sifatnya harus umum karena untuk konsumsi publik yang awam sekalipun.

Apabila ada media yang menerbitkan tulisan kesenian dalam ulasan panjang, rata-rata muncul dari orang-orang yang sama dan itu-itu saja. Fenomena itu terjadi karena sedikitnya seniman atau kritikus seni yang mampu menulis kajian analitisnya secara  detail. Dampaknya tulisan seni di Indonesia masih sangat timpang bila dibanding dengan disiplin ilmu lain dikarenakan kurangnya dialektika seni dari beberapa kalangan.

Alternatif Solusi

Permasalahan tersebut sebenarnya dapat dicarikan solusi  dengan beberapa langkah alternatif. Dari pihak pers perlu menekankan, seorang wartawan harus dilatih secara khusus agar dapat membuat tulisaan baik straight news maupun feature dengan baik dan lancar. Sementara tingkat tulisan wartawan tersebut harus selalu dijaga dan dikritik, hingga tulisannya mampu mencapai tingkat kesempurnaan. Bila ada wartawan yang berminat pada bidang seni, setidaknya  wartawan itu harus diberi kesempatan menulis bidang yang diminati tadi. Jadi yang dibutuhkan adalah komitmen total dari pihak reporter dan kesediaan media cetaknya. Dengan cara demikian, wartawan tersebut semakin terlatih dan akan termotivasi untuk berkembang meningkatkan kualitas tulisannya.

Disamping itu dibutuhkan kreativitas para wartawan sendiri untuk menambah cakrawala serta wacana pemikiran dari acara seperti seminar, workshop, ceramah, diskusi sejarah seni, dan sebagainya. Hal yang sangat penting namun jarang dilakukan. Tak bisa dipungkiri kiat tersebut manfaatnya sangat besar baik bagi wartawan maupun institusi seni.Yang pasti tidak ada pihak yang dirugikan bila hal tersebut dicoba untuk diimplemtasikan.

Rasanya juga masih relevan apa yang dipaparkan Ardus M. Sawega, wartawan media massa nasional Kompas dalam tulisannya Seni Pertunjukan di Mata Seorang Wartawan yang diterbitkan Ford Foundation (2005) bahwa pertimbangan non teknis merupakan faktor yang tak kalah penting di saat proses penulisan, termasuk faktor lingkungan, pergaulan sosial termasuk tenggang rasa dalam pergaulan di tengah komunitas seniman. Terlebih lagi bila menyangkut hubungan personal dengan seniman pelaku yang kebetulan sebagai subyek tulisan.

Oleh karena itu kontak emosional dengan komunitas seniman harus tetap terajut familiarnya. Karena disadari seorang wartawan tersebut kapasitasnya yang dominan bukanlah  sebagai spesialis, namun lebih sebagai generalis yang perhatiannya tidak hanya terfokus pada aspek kesenian saja. (*)

Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta