KOTA TERNATE MALUT, Suara Jelata – Sampah di Kota Ternate masih menyisakan masalah, sementara di satu sisi kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate terkait persoalan sampah masih belum tepat sasaran. Ibarat pasien yang lagi menderita sakit, pasien tersebut diberikan obat yang tidak sesuai dengan jenis penyakitnya, akibatnya bukannya sembuh, tapi membuat penyakitnya tambah kronis.
Diwawancarai awak suarajelata.com, Selasa (10/06/2025), Anggota Komisi III sekaligus Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kota Ternate, Dr. Nurlaela Syarif, S.Sos., M.M. mengatakan, problem persampahan di Kota Ternate sebenarnya dipicu oleh arah kebijakan Pemkot. Kebijakan tersebut menurut Nurlaela perlu dievaluasi termasuk komitmen pemerintah terkait pengelolaan sampah.
Ketika arah kebijakan pemerintah pada level makro terkait penanganan problem persampahan ini jelas dan tepat sasaran, maka, menurutnya, aspek-aspek turunannya berupa instrumen program kegiatan, instrumen alokasi anggaran, inovasi, gagasan akan turut pula berbanding lurus dengan arah kebijakan tersebut.
“RPJMD dan visi misi periode awal pemerintahan Tauhid-Jasri saat itu, programnya diarahkan untuk menciptakan kebijakan pengelolaan sampah berbasis partisipatif dan industrialisasi sampah,” ujarnya.
Terkait program tersebut, setelah DPRD melakukan fungsi pengawasan melalui instrumen komisi, alat pengawasan DPRD yakni LKPJ termasuk Pansus, maka disimpulkan, arah kebijakan Pemkot tersebut perlu ditinjau dan dievaluasi kembali.
Hal ini karena model penanganan sampah masih terfokus pada model pendekatan tradisional melalui mekanisme, angkut, muat dan buang.
“Model kebijakan seperti ini belum optimal dan belum berdampak signifikan terhadap pengurangan sampah,” ucapnya.
Nurlaela mengatakan, model kebijakan seperti itu butuh diintervensi melalui kelompok masyarakat di setiap lingkungan. Alasannya, sumber sampah tersebut berasal dari masyarakat, instansi, kelompok pengusaha termasuk industri.
Lagi pula menurutnya, model kebijakan ini selain belum tepat sasaran, pada proses hulu dan hilirnya belum optimal.
“DPRD Kota Ternate kemudian merekomendasikan Pemkot untuk melakukan intervensi terkait pola perilaku masyarakat.
Rekomendasi DPRD ini paling tidak memberikan dampak pada program kegiatan berbasis pendampingan dan pembinaan masyarakat. Dampak yang diharapkan, masyarakat akan tersadarkan dari pola perilaku buruk berupa membuang sampah tidak pada tempatnya.
“Political will dan cultural will-nya DPRD ini tidak selaras sejalan dengan arah kebijakan Pemkot. Pemkot sebaliknya fokus pada instrumen penambahan fasilitas berupa kendaraan Caisar.
“Ada realisasi 100 unit Caisar yang ditaksir biayanya kurang lebih Rp 5 Miliar. Belum lagi biaya operasional dalam hitungan hari, minggu, bulan bahkan tahun,” tegasnya.
Hasil analisa DPRD, kebijakan ini berdampak pada biaya tinggi. Pada satu sisi kebijakan ini malah tidak berdampak positif dalam menjawab akar substansi permasalahan penanganan sampah.
Ditanya terkait adanya inovasi pemerintah kelurahan dalam program pilah dan olah sampah (daur ulang sampah) baik organik maupun non organik, Nurlaela menanggapi program tersebut perlu dipertanyakan terkait seberapa besar efektivitasnya termasuk jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam program tersebut. Ini juga termasuk dampak pengurangan sampah secara frekuentatif jumlah maupun persentase.
“Program ini harusnya butuh kehadiran Pemkot untuk berkolaborasi bersama seluruh masyarakat di 78 kelurahan dalam wilayah hukum Kota Ternate. Saya tegaskan ini pula yang menjadi substansi rekomendasi DPRD untuk Pemkot,” tutupnya. (Ateng)