OpiniPENDIDIKAN

80 Tahun Merdeka, Menyorot Langkah Pendidikan Indonesia

×

80 Tahun Merdeka, Menyorot Langkah Pendidikan Indonesia

Sebarkan artikel ini
Anak-anak SMP sedang melaksanakan Upacara Bendera. (Ilustrasi: penulis)

Suara Jelata Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia ini, menjadi momentum penting untuk kembali bercermin pada perjalanan bangsa, terutama dalam bidang pendidikan. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, pendidikan telah diletakkan sebagai fondasi utama dalam membangun bangsa ini.

Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pernah menekankan bahwa pendidikan adalah jalan untuk memerdekakan manusia, bukan hanya dari keterbelakangan pengetahuan, melainkan juga dari belenggu ketidakadilan sosial. Kini, setelah delapan dekade Indonesia merdeka, pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana pendidikan kita benar-benar menjadi jalan menuju kemerdekaan sejati?

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 1945, Indonesia menghadapi tantangan besar dengan tingginya angka buta huruf. Data menyebutkan lebih dari 90 persen penduduk Indonesia kala itu tidak bisa membaca dan menulis. Pemerintah kemudian menempatkan pendidikan sebagai prioritas dengan program pemberantasan buta huruf, penyediaan sekolah-sekolah dasar, hingga lahirnya sistem pendidikan nasional yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 31.

Namun, perjalanan panjang itu ternyata tidak pernah sederhana. Perubahan kurikulum yang silih berganti, ketimpangan fasilitas antarwilayah, serta kebijakan yang kerap berubah sesuai pergantian rezim membuat pendidikan di Indonesia selalu dalam proses pencarian bentuk idealnya.

Jika melihat perkembangan saat ini, Indonesia memang sudah jauh bergerak maju. Angka melek huruf telah mencapai lebih dari 95 persen, jumlah perguruan tinggi bertambah pesat, dan akses pendidikan dasar hingga menengah semakin merata di berbagai wilayah. Namun, di balik capaian tersebut, masih ada pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Data dari UNESCO dalam laporan terbaru masih menempatkan kualitas pendidikan Indonesia pada posisi yang belum sepenuhnya membanggakan. Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan kualitas pendidikan antara kota dan desa, antara wilayah barat dan timur, bahkan antara sekolah negeri dan swasta.

Isu terkini yang ramai dibicarakan adalah transformasi pendidikan di era digital. Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu telah memperlihatkan betapa rapuhnya sistem pendidikan Indonesia menghadapi guncangan. Banyak siswa di perkotaan dapat beradaptasi dengan pembelajaran daring berkat ketersediaan gawai dan jaringan internet, tetapi di daerah terpencil ribuan anak terpaksa belajar dengan keterbatasan, bahkan ada yang berhenti sekolah karena tidak mampu mengikuti perkembangan. Dari pengalaman itu, kita belajar bahwa pemerataan akses teknologi adalah kunci utama agar pendidikan bisa benar-benar inklusif.

Memasuki 80 tahun kemerdekaan, perdebatan mengenai kualitas guru juga tidak bisa diabaikan. Guru adalah ujung tombak pendidikan, tetapi realitas di lapangan menunjukkan banyak guru masih menghadapi persoalan kesejahteraan, akses pelatihan, hingga keterbatasan pemahaman teknologi. Program sertifikasi dan peningkatan kualitas yang dilakukan pemerintah memang sudah ada, namun belum menyentuh seluruh tenaga pendidik secara merata. Ketika guru masih kesulitan beradaptasi dengan tuntutan zaman, bagaimana mungkin murid-murid bisa dibawa menuju pendidikan yang relevan dengan abad ke-21?

Akhir-akhir ini juga ramai diperbincangkan tentang implementasi Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini digadang-gadang sebagai jawaban atas tantangan pendidikan yang selama ini terlalu menekankan hafalan dan ujian semata. Dengan pendekatan berbasis proyek, kolaborasi, dan penekanan pada karakter, Kurikulum Merdeka dianggap lebih relevan dengan kebutuhan masa depan. Namun, dalam praktiknya, banyak sekolah masih kebingungan mengimplementasikan kurikulum ini karena keterbatasan sumber daya. Di mana belum tersedianya pelatihan yang memadai, dan belum semua guru siap mengubah pola pikir dari model pengajaran lama. Bahkan dikatakan guru adalah beban negara.

Kurikulum Merdeka yang menuntut pemanfaatan teknologi, sementara kesenjangan digital masih menjadi masalah nyata, dan guru masih disoal sebagai beban negara, maka kurikulum tersebut masih sebatas sebagai gambaran, belum nyata.

Kemudian muncul isu tentang beban biaya pendidikan yang kian memberatkan. Meski pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, kenyataannya tidak semua anggaran tersebut benar-benar sampai ke ruang kelas. Biaya sekolah, terutama di jenjang menengah dan perguruan tinggi, sering kali membuat masyarakat kelas bawah kesulitan melanjutkan pendidikan. Skema bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa memang membantu, tetapi masih banyak keluarga yang terjebak dalam dilema antara memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi.

Di sisi lain, kemajuan zaman menghadirkan tantangan baru berupa fenomena learning loss atau hilangnya capaian belajar akibat pandemi dan gangguan sistem pendidikan. Laporan terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia rata-rata tertinggal 1,5 hingga 2 tahun dalam capaian literasi dan numerasi dibandingkan sebelum pandemi. Hal ini sangat berbahaya karena bisa memengaruhi daya saing generasi muda di masa depan. Meskipun pemerintah mulai meluncurkan berbagai program pemulihan pembelajaran, kecepatan adaptasi di lapangan tidak selalu sejalan dengan harapan.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan Indonesia juga menunjukkan wajah optimis. Lahirnya berbagai inisiatif lokal, seperti sekolah berbasis komunitas, platform belajar digital karya anak bangsa, hingga kolaborasi dengan sektor swasta membuka peluang baru. Akses terhadap pengetahuan kini semakin terbuka, bukan hanya melalui jalur formal, melainkan juga lewat ruang-ruang digital yang lebih fleksibel. Fenomena meningkatnya konten edukasi di media sosial, misalnya, memperlihatkan bahwa anak muda Indonesia haus akan ilmu jika difasilitasi dengan cara yang menarik dan dekat dengan keseharian mereka.

Refleksi 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momen untuk menilai apakah pendidikan kita sudah benar-benar merdeka. Merdeka dalam arti tidak lagi bergantung pada pola lama yang kaku, tidak lagi terjebak dalam birokrasi berbelit, dan tidak lagi terbelenggu oleh kesenjangan sosial-ekonomi. Pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk melahirkan generasi kritis, kreatif, dan memiliki saya saing di panggung global.

Untuk menuju ke arah itu, masih banyak problem struktural yang harus dibenahi. Namun, harapan itu tetap ada. Generasi muda Indonesia hari ini tumbuh dalam era digital yang memungkinkan mereka lebih mudah mengakses pengetahuan dunia. Mereka juga semakin sadar akan pentingnya pendidikan, tidak hanya sebagai jalan untuk pekerjaan, tetapi juga sebagai cara untuk memberi dampak sosial yang lebih luas.

Di tengah isu politik, ekonomi, dan sosial yang menghiasi perjalanan bangsa menuju 80 tahun kemerdekaan, pendidikan tetap harus menjadi prioritas utama. Sebab, tanpa pendidikan yang merata dan berkualitas, cita-cita kemerdekaan yang sejati hanya akan menjadi retorika. Perayaan kemerdekaan seharusnya bukan hanya tentang bendera yang berkibar, parade, atau pesta rakyat, tetapi juga tentang keberanian kita menanyakan kembali, apakah anak-anak bangsa dari Sabang hingga Merauke sudah memiliki kesempatan yang sama untuk bermimpi dan meraih masa depan?

Refleksi tentang dunia pendidikan di era merdeka ini hendaknya tidak berhenti pada wacana, melainkan diwujudkan dalam langkah konkret. Pemerataan akses internet, pelatihan guru yang berkelanjutan, pemanfaatan teknologi untuk menjangkau daerah terpencil, hingga keberanian untuk menempatkan pendidikan di atas kepentingan politik sesaat adalah kunci untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar memerdekakan.

Menurut penulis, delapan puluh tahun adalah usia yang matang bagi sebuah bangsa, dan pendidikan seharusnya sudah menjadi fondasi yang kokoh. Indonesia telah melangkah jauh, tetapi jalan panjang masih terbentang di depan. Kemerdekaan yang sesungguhnya hanya akan tercapai ketika setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, bisa merasakan pendidikan yang bermutu, adil, dan relevan dengan zamannya, serta mampu menghadapi persaingan global. (*) 

Penulis:
Drs. Edi Sabadilla S.
Kepala SMP Negeri 1 Pace
Kabupaten Nganjuk
Jawa Timur