Opini

Kepala Desa Bukan Raja, Jabatan Publik Bukan Singgasana

×

Kepala Desa Bukan Raja, Jabatan Publik Bukan Singgasana

Sebarkan artikel ini
Agung Libas, Ketua A-PPI Magelang Raya. (foto: Narwan)

Suara Jelata Pernyataan tegas seorang bupati baru-baru ini kembali mengingatkan kita pada realitas yang kerap luput dibicarakan: di sebagian desa, kepala desa masih merasa dirinya raja kecil.

Mereka duduk di kursi jabatan seolah berada di atas rakyat, bukan bekerja untuk rakyat. Padahal, pesan bupati itu sangat terang: kepala desa adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa di wilayahnya.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Sang bupati menegaskan bahwa jabatan kepala desa adalah amanah yang harus dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.

Pesan ini mungkin terdengar klise, tetapi konteksnya jelas ada perilaku yang perlu diperbaiki, ada mentalitas yang perlu diturunkan dari singgasana.

Fenomena “raja desa” ini bukan mitos. Di berbagai daerah, publik masih menemukan kepala desa yang bertindak semena-mena: mengatur anggaran tanpa keterbukaan, mengambil keputusan sepihak, menempatkan loyalitas politik di atas kebutuhan warganya, hingga memperlakukan perangkat desa seperti abdi istana. Mentalitas feodal itu, jika dibiarkan, berubah menjadi bibit penyalahgunaan kekuasaan.

Padahal, desa hari ini bukan lagi desa lima belas tahun lalu. Anggaran besar mengalir. Kewenangan diperluas.

Harapan masyarakat meninggi. Karena itu, jabatan kepala desa bukan tempat untuk unjuk kuasa tetapi ruang untuk membuktikan integritas.

Penting pula diingat bahwa setiap kepala desa dipilih oleh rakyat, bukan diangkat oleh kerajaan. Legitimasi mereka lahir dari pemungutan suara, bukan dari garis keturunan.

Maka, rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang melayani, bukan yang ingin dilayani.

Pernyataan bupati tersebut seyogianya menjadi alarm bagi semua aparatur desa: sudah waktunya meninggalkan gaya kepemimpinan feodal dan bertransformasi menjadi birokrat desa yang modern, terbuka, dan bertanggung jawab.

Sebab, di republik ini, tak ada raja tanpa mahkota yang ada hanyalah pejabat publik yang wajib bekerja untuk kepentingan publik. (*) 

Penulis:
Agung Libas
Ketua
Asosiasi Pewarta Pers Indonesia (A-PPI)
Magelang Raya