OPINI, Suara Jelata — Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 mendatang. Pempimpin Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara harus murni pilihan rakyat tanpa campur tangan pragmatisme, bukan pemimpin dari hasil kekuatan uang (Money Politics) dan juga bukan karena hasil dari politik identitas, serta bukan hasil dari jual-jual ayat.
Sebab politik identitas pun politik uang hanya bagi mereka yang kering gagasan, tidak mempunyai tawaran ide-ide revolusioner yang bisa diwujudkan, dan mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Artinya tidak layak jadi pemimpin.
Jadi pemimpin terpilih harus benar-benar lahir dari pilihan murni dari rakyat sendiri, karena dia benar-benar tau seperti apa pemimpin yang dia pilih tersebut. Sehingga tidak ada penyesalan kelak ketika roda pemerintahan mulai dijalankan oleh supir baru.
Dengan kesadaran hati nurani dan tanpa kemunafikan kita, pasti kita mengaminkan bahwa di daerah bumi gordang sambilan masih kental dengan politik uang.
Sebab saya merasakan sendiri bagaimana masyarakat ketika menghadapi sejenis pemilu, bukan hanya pilkada bahkan semua jenis perhelatan demokrasi yang melibatkan suara rakyat.
Pada masa-masa sebelum hari pemilihan, kita akan menemukan masyarakat khususnya pemuda bertanya, “saya dapat berapa jika memilih ini?” pada team sukses yang berkeliaran didesa-desa. Bahkan tidak jarang momen ini dijadikan lahan duit bagi mereka.
Meskipun saya yakin, tidak hanya di Madina tapi beberapa daerah Indonesia lainnya juga tidak sedikit seperti itu.
Untuk itu kebiasaan seperti demikian harus dihapus, di bumi hanguskan. Alasanya bukan hanya karena bisa melahirkan pemimpin yang “buruk” tapi juga mampu merusak hakikat Demokrasi, dan melanggar Undang-Undang sebagaimana termaktub dalam UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dan sebab karena politik uang ini jugalah yang berpotensi melahirkan pemimpin koruptor. Mengapa demikian, karena siapun orangnya kalau sudah terpilih dari hasil kekuatan uang pasti dia tidak akan mau uang lenyap, melayang, sia-sia begitu saja.
Sehingga dia pasti menginginkan balik modal secara Instan, karena gaji belum tentu cukup untuk menutupi selama priode kepemimpinan. Alhasil uang rakyat dijilat, perkembangan dan kemajuan daerah pun terhambat.
Tanpa kerja sama dari semua elemen tentu semua itu tidak akan dapat teruwujud. Semua lapisan harus bekerja sama mulai dari masyarakat, calon pemimpin, penyelanggara maupun pengawas harus bekerjasama dalam mewujudkan demokrasi bersih dari kotoran-kotoran disebutkan di atas.
Terutama sekali calon pemimpin, harus mampu bertarung sebagaimana layaknya kesatria dalam medan pertempuran. Harus siap meraih kemenangan dengan bersih.
Semua calon harus berani tampil dengan gagasan-gagasan kreatif, mampu menawarkan ide-ide rasional, masuk akal bisa diwujudkan sesuai dengan kultur setempat.
Berani melakukan sosialisasi turun kemasyarakat sehingga dia mempunyai landasan empiris dalam menyusun visi dan misi yang konkrit.
Serta tidak takut menguji pikirannya didalam forum-forum masyarakat, berani berbantah-bantah untuk menelanjangi, mengkuliti tawaran program-programnya sampai ke dasarnya bersama para akademisi.
Dan relawan (tim sukses) ketika mengkampanyekan jagoannya, agar jangan mendoktrin masyarakat dengan segala kamuflase atau desain menarik penuh kebohongan tentang calonnya.
Melainkan harus mensosialisasikan tawaran-tawaran konkrit apa yang layak diberikan jagoanya itu kepada masyarakat. Bukan mengumbar janji-janji palsu yang dijadikan strategi untuk mendapatkan kursi.
Tim sukses juga harus ikut partisipasi mendukung demokrasi tanpa politik uang.
Dengan itu, calon pemimpin mengeluarkan ongkos akan lebih minim menuju singgasana kepemimpinan, dan pemenang pun tidak lagi memiliki beban biaya untuk dicari secepatnya.
Jikalaupun masih ingin memakan uang rakyat, artinya hatinya memang sudah berkarat.
Selanjutnya penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat juga harus ikut mendukung tercapainya Pilkada yang bersih.
Jangan sampai mengambil keuntungan untuk pribadinya, harus menyelengarakan pemilu dengan sebanar-benarnya tanpa menunduk pada kecurangan.
Tidak bekerjasama dengan calon-calon pemimpin, dengan iming-iming kertas ber-angka untuk di bagi-bagi.
Melainkan harus memiliki indepedensi yang kuat tanpa intervensi pihak manapun dan jangan menganggap peraturan hanya sekedar peraturan saja tanpa dijalankan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun jangan sampai ikut campur dalam menentukan pilihan masyarakat, karena tugasnya mengawasi maka harus mengawasi dengan ketat dan bertindak secara tegas pada kecurangan-kecurangan yang ada. Bukan malah ikut membiarkan kecurangan itu, bungkam karena sudah dikasih asupan.
Apalagi mengenai politik uang, Bawaslu harus benar-benar awasi agar suara masyarakat tidak dibeli dengan harga murah untuk keberlangsungan hidup mereka lima tahun ke depan.
Dan elemen masyarakat yang mempunyai otoritas dalam Pilkada. Masyarakat Mandailing Natal jangan sampai terkecoh hanya dengan selembar kertas uang lalu sudah mau menjual suara, suara yang seharusnya lebih bernilai daripada itu.
Setiap suara yang dimiliki oleh masyarakat adalah penentu, maka jika suaranya menjadi penentu terpilihnya pemimpin dzolim akan sangat berdampak dalam kehidupan bermasyarakat kedepan.
Sebab, untuk mengatur system di segala bidang mulai dari Infrastruktur, kesehatan, pendidikan sampai ekonomi berada di bawah kendali pemerintah.
Untuk itulah akan sangat berdampak buruk jika kita memilih pemimpin yang tidak pro pada rakyat. Memilih karena asal memilih.
Maka jangan salahkan pemerintah kalau-kalau sekarang atau suatu saat kualitas jalan di kampung tidak ada perubahan sama sekali, masih tetap hancur berantakan, tak beraspal melainkan hanya krikil-krikil tajam.
Jangan salahkan pemerintah apabila layanan kesehatan tidak memadai dan tidak mempunyai kualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat, harga tak terjangkau, pelayanan ambradul, fasilitas minim dan akses susah.
Jangan salahkan nanti pada instansi pelayanan masyarakat masih banyak di temukan praktek pungli, petugas minta uang tips untuk mengurus surat yang seharusnya gratis seperti di Diskucapil pada saat mengurus KTP, KK dan berbagai kebutuhan lain.
Jangan salahkan praktek pungli marak terjadi di bidang pendidikan yang diselenggarakan negara, anak minta uang ini, uang itu yang seharusnya tidak boleh dalam peraturan.
Jangan menyalahkan pemerintah apabila semua itu terjadi, jika kita (masyarakat) sendiri tidak peduli dengan pilihan kita. Hanya memilih berdasarkan siapa paling banyak membayar bukan siapa yang paling punya potensi untuk mensejahterakan dan mencerdaskan.
Karena semua itu tidak akan terjadi jika pemerintah memberlakukan kewenangannya untuk menumpas dan memperbaiki segalanya itu.
Untuk itu, masyarakat harus benar-benar memilih atas dasar hati nurani bukan karena dorongan kekuatan uang, benar-benar memilih calon pemimpin karena melihat dan mempelajari bahwa calon itu adalah orang yang murni ingin melayani bukan untuk menguasai.
Karena pemimpin masyarakat sejatinya pelayan bagi rakyatnya, bukan penindas.
Dalam lapisan elemen masyarakat, pemuda mempunyai peran penting dalam menjaga kemurnian Pilkada.
Maka seharusnya pemuda apalagi kaum terdidik (Mahasiswa) yang paham akan hal ini, harus ikut dan memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang kenapa kita benar-benar memurnikan pilihan untuk mendapatkan pemimpin.
Bukan malah bersifat apatis, apalagi malah ikut membodohi masyarakat dengan pengetahuanya.
Ikut menjadi penjilat calon pemimpin untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Jika demikian lepaskan saja title pendidikan itu.
Maka harapannya, semua elemen harus bekerjasama dalam menghasilkan pemimpin murni pilihan rakyat tanpa campur tangan pragmatisme agar tercapai Mandailing Natal negeri beradat taat beribadat dan berperadaban.
Penulis : Lamboroada, Organisasi Pergerakan Pemuda dan Mahasiswa Mandailing Natal.