MAKASSAR, Suara Jelata––Puluhan masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam ‘Solidaritas Makassar untuk Papua’ menggelar aksi solidaritas di Monumen Mandala, Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan pada, Senin, 26 Agustus 2019. Selasa, (27/8/2019).
Mereka menuntut keras kepada negara agar memberikan ‘kebebasan, hak penentuan nasib sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di West Papua’ serta kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang, beberapa waktu lalu.

Jenderal Lapangan (Jenlap), Albert mengatakan, bahwa aksi ini digelar secara rutin, dan bahkan setiap tahunnya pula para peserta aksi mendapat perlakuan represif dari aparat TNI dan Polri serta Ormas reaksioner Indonesia.
Seperti pada bulan Agustus tahun 2017 lalu, sedikitnya 100 orang massa aksi di tiga kota ditangkap, di Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Kemudian pada tahun 2018, ada 49 mahasiswa di Surabaya diangkut ke Polrestabes. Sedangkan di 2019, perlakuan yang dialami oleh rakyat dan mahasiswa papua tidak membaik.
“Sementara itu, di Malang peserta aksi diteriaki dengan makian binatang, dipukul dengan helm, dilempari batu-batu besar, dan nyaris dihajar oleh mobil Dalmas sehingga mengakibatkan massa aksi mengalami luka-luka dan beberapa di antaranya mengalami luka serius,” ujar Albert.
Selain itu di Ambon, spanduk aksi dirampas oleh aparat dan seluruh massa aksi diangkut ke kantor polisi. Sementara di Ternate, aparat berpakaian preman malah memprovokasi masyarakat untuk memukuli massa aksi.
“Kawan-kawan kami mendapat makian, menerima pukulan, lemparan buah, sampai seorang tak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah sakit. 17 kawan diangkut ke Polres. Dan kawan kami di Sula juga ditangkap setelah menyebarkan selebaran dan baru dipulangkan keesokan harinya,” bebernya.
“Sekali lagi kami tegaskan, menghapuskan rasisme dan represi terhadap orang Papua hingga mereka bisa mengerti makna kebahagiaan hidup apabila rakyat Papua mendapatkan haknya untuk menentukan nasib sendiri,” katanya.
Maka dari itu, mereka menyatakan sikap;
1. Mengutuk pelaku pengepungan asrama Kamasan Papua di Surabaya, penyerangan aksi damai di Malang, pemaksaan pemasangan spanduk dan bendera di asrama Papua di Semarang, serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon.
2. Tangkap dan adili aktor intelektual dalam pengepungan asrama Kamasan Papua di Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang pada,15 Agustus 2019.
3. Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes Surabaya), Kodim Surabaya dan Pemerintah Daerah Surabaya bertanggung jawab atas pembiaran terhadap TNI, Satpol PP dan ormas reaksioner yang dengan sewenang-wenang mengepung dan merusak asrama Kamasan Papua.
4. Pecat anggota-anggota TNI dan Satpol PP yang memulai provokasi penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
5. Hentikan rasialisme! Manusia Papua bukan monyet!
6. Tangkap dan adili pelaku pemberangusan ruang demokrasi di Surabaya, yang mengakibatkan 5 orang terluka berat dan belasan lainnya luka ringan.
7. Ganti segala kerusakan materil dan immateril akibat dari penyerangan asrama Kamasan Surabaya!
8. Hormati dan lindungi hak kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sebagaimana yang dimaksud dalam Konstitusi.
9. Hentikan aparat TNI/Polri yang melakukan provokasi terhadap warga yang tak tahu-menahu tentang politik Papua merdeka dan NKRI harga mati.
10. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Untuk Mengakhiri Rasisme Dan Penjajahan Di West Papua.
11. Buka Akses Jurnalis Nasional Dan Internasional Di Tanah Papua.
12. Jokowi untuk segera memerintakan Tito Karnavian dan Panglima TNI untuk segera memecat anggota TNI & Polri yang terlibat dalam pengerebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
13. Demiliterisasi zona Nduga, Papua.
14. Pemprov Papua dan Papua Barat segera melepaskan pakaian dinas.
15. Usir penjajahan dari tanah Papua.
16. Mendagri segera evaluasi Wali Kota Malang.
17. Dengan tegas kami menolak perpanjangan Otsus.