OPINI REDAKSI—Dunia sedang gencar-gencarnya membahas masa depan kehidupan di bumi, di balik kesibukan China menciptakan matahari, yang dilansir sains.kompas(dot)com, akan selesai tahun ini.
Beberapa negara lainnya di Asia juga terus bereksperimen, seperti Jepang serta negara-negara maju lainnya.
Namun, sehubungan dengan pembangunan tentu ada konsekuensi yang berdampak langsung pada alam.
Hal itulah yang membuat dunia tidak lagi sibuk pada isu Gender Equality semata, atau Human Rights secara monoton, melainkan lebih kepada Environmental Etics.
Secara global, lingkungan menjadi isu utama saat ini. Dikuatkan oleh seorang perempuan berumur 16 tahun asal Swedia yang mogok sekolah demi berkampanye melawan perubahan iklim, dengan spanduk yang akrab di tangannya, “Skolstrejk For Klimatet”. Adalah Greta Thunberg, dikutip dari berbagai media Internasional remaja ini lewat aksinya berhasil menggerakkan 1.659 kota di 105 negara aksi secara serentak menolak perubahan iklim.
Lalu, Indonesia?
Pada Agustus 2020 lalu, FWI meluncurkan data dari 2000-2017, bahwa selama 75 tahun merdeka, Indonesia telah kehilangan hutan lebih dari 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta.
Angka ini tentunya terus bertambah, hal itu pernah diungkapkan direktur Wahana Lingungan Hidup (Walhi), di mana prediksinya 15 tahun ke depan, hutan Indonesia habis.
Tentu semakin parah, walau Indonesia masuk salah satu negara penyuplai oksigen dan dikenal sebagai paru-paru dunia.
Tetapi kerusakan hutan baik melalui investasi, maupun lewat pembalakan liar (Ilegal logging), pencemaran udara, dan limbah industri besar, tentunya membuat perubahan terjadi kian pesat, kelak menimbulkan krisis ekologi demikian hebat.
Kabupaten Sinjai?
Kami mengambil contoh bagaimana mindset masyarakat bekerja merespon isu lingkungan. Misalnya di Kabupaten Sinjai, salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang akhir-akhir ini ramai membicarakan lingkungan.
Mulai dari tumpang-tindih klaim antara Lingkungan Hidup dengan masyarakat pesisir hutan atas hak kepemilikan tanah warisan, atau penebangan pohon oleh oknum pemerintah yang dibiarkan begitu saja.
Salah satu contoh unik di Kabupaten Sinjai, pada tahun 2014 lalu, seorang petani asal Kecamatan Sinjai Barat menebang beberapa pohon jati yang ditanam sendiri di kebun miliknya yang juga diklaim sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) oleh pemerintah.
Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara selama 1 tahun lebih. Berselang beberapa tahun, alasan meningkatkan wisata, Bupati melalui perangkatnya menebang sejumlah pohon dalam hutan lindung di Desa Batu Bulerang, Kecamatan Sinjai Borong, sebagai upaya pembangunan, tetapi tidak ditangkap.
Inilah yang menuai kontroversi, kelompok pencinta alam tentu sangat menentang kerusakan hutan, dengan alasan apapun.
Anehnya, ada pula beberapa yang mengaku tokoh masyarakat setempat mendukung upaya pemerintah membangun wisata, sekalipun merusak alam.
Sangat bertentangan dengan konsep ekologis, namun juga koheren terhadap upaya presiden Joko Widodo untuk meningkatkan pembangunan dengan mempermudah investasi.
Kepadatan penduduk, kemajuan tekhnologi, dan kesadaran sosial. Semestinya menjadi siklus yang paralel serta berkesinambungan.
Sebab sangat konyol dan tolol, bila sedikit-sedikit ada yang mengklaim dirinya tokoh masyarakat, di Kabupaten Sinjai khususnya, berkomentar di media.
Seperti kemarin, (21/4) sangat ramai. Dari pemuda hingga tokoh masyarakat mengecam pemerintah di Kecamatan Sinjai Selatan akibat menebang beberapa pohon mahoni di pinggir lapangan.
Betul bahwa penebangan pohon bukan tindakan terpuji dalam konteks ekologi. Tetapi seharusnya total, jangan mengomentari hanya karena ingin sempat viral, atau karena kurang pengetahuan?
Karena banyak kejadian besar dengan kerusakan yang lebih dominan, tetapi didiamkan.
Misalnya tambang PLTA di Sinjai Barat yang mengeksploitasi alam di 3 desa, dengan efek saat meledakkan batu besar yang ditimbulkan nyaris di satu Kecamatan, belum lagi mencemari hulu sungai Tangka, tapi didiamkan.
Kenapa? Bisa jadi karena orang-orang takut, atau kurang pengetahuan tentang lingkungan, atau terlibat sebagai pelaku, entah! Saat ini kami menulis khusus lingkungan yang sempat viral di Kabupaten Sinjai, juga sekaligus memperingati Hari Bumi Sedunia 22 April.
Kami juga mengingatkan kepada pembaca bahwa berbicara lingkungan sebenarnya bukan sesuatu yang mudah.
Di mana konsekuensi dasar pada internal tubuh kita, kesederhanaan. Selanjutnya adalah apa-apa yang melekat dalam diri setiap orang tentunya bersumber dari alam, demikian juga tempat tinggal dan wadah aktivitas lainnya.
Sederhananya seperti dikaktakan Edward Norton Lorenz, dalam teorinya “Butterfly Effect” bahwa “Kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian”.
Itulah teori paling dasar dari kerusakan lingkungan, sehingga kami berharap kepedulian pada lingkungan bisa ditingkatkan bersama demi kehidupan yang berkelanjutan.
Redaksi