OPINI, Suara Jelata—Indonesia adalah nama pemberian dari seorang James Richardson Logan (Ahli Etnologi dari Inggris) yang diadopsi untuk menunjukkan satu kesatuan indentitas politik di kepulauan ini dan juga merupakan proses finalisasi nama kepulauan yang dihimpun dari banyaknya pulau dari Sabang sampai Merauke.
Berawal dari nama Lemuria, Sweta Dipa, Dwipantara, Nusantara, Hindia Belanda hingga Indonesia yang kita kenal sampai sekarang ini.
Tanggal, 17 Agustus 1945 merupakan puncak nasionalisme bangsa sebagaimana bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dari sejak itu, putra sang fajar, Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya, dan akan dibuntuti harga mati jika ada bangsa luar yang berani mengganggunya.
Nasionalisme merupakan sebuah sikap, semangat kebangsaan yang seharusnya dimiliki oleh tiap-tiap bangsa, namun realitas yang kita lihat sampai ini telah terdistorsi dan mengalami banyak pergeseran makna.
Paradigma pergeseran makna tersebut tampaknya bukan hanya terjadi di ranah lokal, akan tetapi juga terjadi di ranah nasional yang mengharuskan ‘saya’ sebagai penulis untuk menyimpulkan bahwa lokal dan nasional sama saja.
Sebelum hari proklamasi kemerdekaan dilaksanakan, setiap tahunnya akan diselenggarakan berbagai macam kegiatan yang sangat terkesan monoton.
Sebab seperti halnya yang dilaksanakan tahun-tahun sebelumnya yakni perkemahan, gerak jalan dan beragam festival lainnya dalam memeriahkan momentum tersebut.
Seperti pada umumnya, tak ayal masyarakat pun tampak menikmati kegiatan yang demikian bukanlah sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi karena keseruan yang disuguhkan dari beberapa lomba dan festival tersebut yang membuat mereka tertawa hingga terbahak-bahak hingga lupa, bahwa persada tanah air belum merdeka seutuhnya.
Sangat miris, ketika jerih para pejuang yang eksponen untuk mencapai pergerakan nasionalisme tersebut telah tergadai oleh kegiatan yang bersifat ‘seremonialisme’ yang sama sekali tidak menghadirkan manfaat.
Termasuk rangkaian upacara 17-an yang dilaksanakan, yang seharusnya di dalamnya terkonstruk jiwa nasionalisme, justru tidak terejawantahkan.
Iringan lagu Indonesia Raya yang dipandu oleh seorang Dirjen dan membuat bulu kuduk merinding, pidato pembina upacara yang menggelegar hingga terdengar sampai ke luar angkasa bak melambungkan jiwa asa hingga ke langit paling tinggi.
Tidak tanggung-tanggung, setelah upacara itu selesai, maka selesai jugalah jiwa nasionalisme tersebut bak jarum jam yang mengalami lowbat karena kehabisan baterai.
Jiwa nasionalisme seakan-akan telah mati suri dan akan bangkit kembali ketika diziarahi pada upacara di 17-an mendatang.
Kesejatian nasionalisme dalam diri kita nampaknya tidak menjalar hingga ke dalam jiwa dan sanubari, juga tidak murni dan sangat kurang kesadaran akan bangsa yang patriotik dan fanatik pancasila.
Sehingga melahirkan bangsa yang buta akan makna nasionalisme itu sendiri, yang akhirnya dapat mematikan bangsa dalam negeri sendiri.
Sulit dipahami, hari yang bersejarah tersebut seakan tinggal bangkai yang telah diberi formalin yang setiap tahunnya dikunjungi untuk mengenang jasa-jasanya.
Ingar bingar modernisme, globalisasi dan teknologi di negeri yang antah-berantah ini nampaknya menyilaukan pandangan sebagian besar dari kita.
Revitalisasi haruslah segera dilaksanakan, untuk mengentaskan sadar akan tanggung jawab untuk sebagian besar mereka yang telah terbius.
Tentunya, sebagai seorang terpelajar haruslah menjadikan hal tersebut sebagai tugas utama dan tanggung jawab untuk mengembalikan kesadaran yang telah lama lumpuh akibat terbius oleh kebisingan yang mematikan nasionalisme.
“Didiklah rakyat dengan pengetahuan yang kau dapatkan dari organisasi” sebagaimana kutipan bijak dari seorang Pramoedya Ananta Toer.
Dirgahayu Republik Indonesia ke 74.
Penulis : M. Nur Rahmat Achdar HT, merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar Semester VII. Sekaligus Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pelajar Soppeng (IMPS) Koperti UIN Alauddin Makassar Periode 2018-2019.
Ket : Sepenuhnya Opini diatas merupakan tanggung jawab penulis.