OPINI, Suara Jelata— Negara republik Indonesia yang diketahui secara bersama sebagai negara hukum dengan administrasi yang lumayan ketat atas hak dan kewajiban setiap warga. Hal itulah yang kemudian disebutkan oleh Thomas Hobbes sebagai hal mutlak dalam kehidupan, walau hukum alam juga dirasionalkan oleh Jhon Lock bila kita mengacu pada filosofi sebuah negara. (Filsafat Politik-Henry J.).
Akibatnya dalam bernegara ini, ada beberapa yang wajib dilakukan dan dipatuhi sebagai ketetapan negara, salah satunya adalah pajak yang digunakan oleh negara untuk mensejahterakan rakyat. Hal itu tertuang baik dalam peraturan Undang-undang hingga peraturan pemerintah di tingkat paling bawah.
Istilah pajak pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering sekali dibebani dengan pajak yang mau tidak mau harus dibayar. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor hingga Pajak Penghasilan (PPh), bahkan untuk produk konsumtif tertentu yang kita nikmati pun terkena pajak.
Secara sepintas, memang pajak terkesan membebani rakyat. Namun, jika dilihat lebih jauh, kita akan mengetahui apa saja manfaat pajak yang sudah Anda bayarkan, dan akhirnya pandangan Anda tentang pajak punakan berubah.
Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (www.cermati.com).
Korelasi antara pajak dengan progresif suatu pembangunan semestinya berjalan paralel. Sebab negara bertanggung jawab atas pembangunan yang berkelanjutan, di mana pajak sebagai alternatifnya. Koherensi manfaat dengan kewajiban warga negara sebagaimana konstitusi mengaturnya, harus terjamin.
Dialektika sebuah negara dengan tingkat penduduk yang kian melonjak tentunya akan memberi dampak pada Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) yang bersumber dari pajak. Banyak tantangan yang menjadi penghambat proses perpajakan di Indonesia, salah satunya pada masa pandemi Covid-19 ini.
Sebuah kondisi yang membuat warga negara mengalami dilema, antara kewajibannya terus membayar pajak dengan kondisi ekonomi yang terhambat, bahkan menurun dan berhenti. Walau berbagai bantuan dengan anggaran yang tak sedikit dikucurkan oleh pemerintah pusat untuk menetralisir dampak Covid-19, namun tetap saja tak berjalan maksimal hingga di pelosok desa.
Kementrian Sosial (Kemensos) bahkan mengucurkan anggaran Rp 127 Triliun, bukan anggaran kecil yang dikhususkan untuk memberikan bantuan pada setiap warga yang terdampak, walau realisasinya tak berjalan mulus. (News.detik.com).
Sebagaimana Presiden Jokowi sendiri mengakui masih ada masalah dalam pendataan penerima dana bantuan sosial yang terdampak Covid-19, khususnya pada pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT). (https://tirto.id/fs1i).
Bahkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah telah menggunakan instrumen fiskal untuk selamatkan masyarakat dari masalah kesehatan, sosial, hingga ekonomi di situasi pandemi Covid-19. Salah satu instrumen itu dengan pemberian insentif pajak. Hal tersebut dilakukan meskipun penerimaan pajak saat ini juga mengalami kontraksi hingga 17% akibat pandemi Covid-19.
(https://www.wartaekonomi.co.id/).
Dari sejumlah referensi di atas membuktikan beragam polemik di Indonesia kaitannya dengan pajak. Belum lagi bila ditelusuri lebih jauh tentang kesadaran warga negara akan pentingnya wajib pajak demi pembangunan bersama di negara ini.
Sebagai solusi dari saya secara pribadi, adalah bagaimana kita melawan bersama tantangan ini demi kemajuan dan manfaat untuk kita semua, bahwa kebijaksanaan berwarga negara terletak pada tanggung-jawabnya terutama membayar pajak tepat waktu.
Penulis: Nurfadillah, Program Studi Ekos, IAIM Sinjai
Opini Ini Diluar Tanggung Jawab Redaksi