KEPULAUAN SULA MALUT, Suara Jelata – Guna mengetahui secara jelas pengelolaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Sula melakukan kunjungan kerja (kunker) ke 11 desa dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Sula.
Agenda Kunker tersebut melibatkan Ketua dan anggota Komisi 1 DPRD Sula. Mereka adalah, Haji Safrin Gailea selalu Ketua Komisi I Fraksi Sula Bahagia. Selain Ketua terdapat juga M. Rido Guntoro Wakil Ketua DPRD Sula Fraksi PDIP, Julkifli Umagap Fraksi PDI-P yang juga Sekretaris Komisi I, Halik Teapon dari Fraksi Sula Bahagia, Amanah Upara dari Fraksi Golkar, Tamrin Salamun dari Fraksi Golkar, Masmina Ali dari Fraksi Demokrat, Yana Lek dari Fraksi Sula Bahagia serta Ramli Hasan dari Fraksi Sula Bahagia.

Diwawancarai awak suarajelata.com, Rabu (26/02/2025), Anggota Komisi I Fraksi Golkar yang juga Ketua MPO Partai Golkar Maluku Utara (Malut), Amanah Upara menjelaskan, Kunker Komisi I sebelumnya telah dilakukan pada bulan Januari 2025. kunker tersebut dilakukan di Desa Umaloya, Desa Pastina, Desa Wailau, Desa Waiboga dan desa persiapan Umagap.
“Pada bulan Pebruari 2025, Anggota DPRD Sula dari Komisi I juga melakukan Kunker ke Desa Mangon, Desa Waibau, Desa Fagudu, Desa Falahu dan Desa Fatcei serta Fogi.
Dikatakan Amanah, dalam kunker Komisi I ke 11 desa tersebut melakukan monitoring terkait pengelolaan DD dan ADD untuk infrastruktur desaHasil monitoring, ADD dan DD, pemanfaatannya telah terealisasi cukup baik.
Sekalipun demikian, Amanah malah menyebutkan rata-rata di 11 desa tersebut Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum terkelola secara baik. Bahkan menurut Amanah, ada desa yang belum punya BUMDes
“Menyikapi hal ini Komisi I menyarankan agar pemerintah desa perlu membangun BUMDes. Karena ketika dikelola secara baik, dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, dampaknya akan menggenjot Pendapatan Asli Desa (PAD) serta memperkuat ekonomi desa. Dengan begitu endingnya kesejahteraan masyarakat akan tercapai,” ujar Amanah.
Menurutnya, pemerintah desa setelah membentuk BUMDes, kepengurusannya perlu membuat Peraturan Desa (Perdes). Perdes ini terkait manajemen dan tata kelola BUMDes. Setelah itu, pengurus BUMDes melakukan survei dan rapat untuk menentukan usaha apa yang cocok atau tepat sesuai kebutuhan pasar.
“Pengurus BUMDes perlu melakukan studi banding, magang dan pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) Malut,” terang Amanah.
Bidang usaha yang dikelola BUMDes itu berupa bidang pertanian, peternakan, perikanan, jasa, tempat wisata.
Dengan pelatihan tersebut, pengurus BUMDes akan terbekali dengan skill atau keterampilan. Dengan keberadaan BUMDes yang bisa eksis, pemerintah desa dapat memberikan bantuan modal usaha. Selain itu BUMDes nanti dikontrol serta mendapat bimbingan dan pengawasan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ini untuk memastikan anggaran BUMDes dikelola secara baik dan sesuai asas transparansi dan akuntabilitas publik.
“Ini juga untuk menghindari kebocoran DD. Pemerintah Desa tidak boleh memberikan anggaran DD kepada BUMDES yang tidak memiliki skill, jika diberikan potensi penyalahgunaan bakal terjadi,” ungkap Amanah.
Tapal Batas Desa
Berkaitan dengan tapal batas Desa Umaloya dan Desa Pastina, sudah ada kesepakatan. Kesepakatan tersebut adalah batas Desa Umaloya dan Desa Pastina ada di tengah-tengah Air kali antara Desa Umaloya dan Pastina, namun belum ada patok batas.
Dengan demikian, Komisi I berpandangan bahwa letak tapal batas dua desa tersebut, Pemda Sula perlu melakukan mediasi kembali terkait letak patok batas kedua desa. Ini karena tidak mungkin tapal batas ada di tengah Air kali.
“Jika sudah ada kesepakatan maka harus dibuat dokumen tapal batas dan berita acara pemasangan patok yang ditandatangani oleh kedua kepala desa,” terangnya.
Ungkap Amanah, tapal batas antara Desa Pastina dan Desa Wailau sudah ada yakni gapura perbatasan Desa Wailau dan Desa Pastina. Namun menurutnya, belum ada patok dan berita acara pemasangan patok. Begitu pula dengan tapal batas Desa Wailau dan Umagap.
Olehnya itu Komisi I mendorong agar pemerintah Daerah memediasi desa tersebut untuk memasang patok dan dibuat berita acara pemasangan patok. Sedangkan tapal batas antara Desa Umaga dan Desa Waiboga secara historis ada, tetapi dokumen tapal batas belum diterima oleh BPMD Provinsi Malut. Padahal ini adalah salah satu persyaratan pemekaran Desa Umaga.
Desa-desa lainnya seperti Mangon, Waibau, Fagudu, Falahu dan Desa Fatcei sebagian besar belum memiliki tapal batas. Tetapi ada beberapa Desa seperti Falahu, Fatcei dan Fogi sudah memiliki dokumen tapal batas.
“Tapal batas sangat penting bagi sebuah desa. Syarat pemekaran sebuah desa harus memiliki tapal batas. Jika tidak, Pemerintah Pusat tidak akan memekarkan desa tersebut,” cetusnya.
Menurutnya, tapal batas jika tidak diselesaikan dengan cepat akan berpotensi terjadi konflik dan juga berpengaruh secara signifikan pada besar kecilnya dana desa.
Menyikapi dinamika pemerintahan desa di Kabupaten Sula terutama berkaitan dengan pengelolaan anggaran desa, BUMDes dan tapal batas desa, DPRD melalui Komisi I akan mengagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kabag Pemerintahan, BPMD serta Inspektorat Kabupaten Sula. Ini agar DPRD dan pemerintah desa dapat menyikapi dinamika pemikiran desa dan mencari solusi yang tepat. Intinya adalah permasalahan tapal batas ini secepatnya bisa terselesaikan. (Ateng)