Nasional

Pesan Melalui Film Suamiku, Lukaku : Jangan Normalisasi KDRT dan Berhenti Diam Digaungkan

×

Pesan Melalui Film Suamiku, Lukaku : Jangan Normalisasi KDRT dan Berhenti Diam Digaungkan

Sebarkan artikel ini
Sumber gambar : Instagram ssharad-official.

DI YOGYAKARTA, Suara Jelata Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) bekerjasama dengan SinemArt serta Museum Omah Jayeng dan Garin Art Lab menggelar diskusi  bertema “KDRT di Sekitar Kita, pada Minggu, 9 November 2025.

Kegiatan tersebut diadakan di Museum Omah Jayeng, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Minggu, 9 November 2025.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Apa yang Harus Dilakukan?” dengan preview atau pratinjau film yang digarap SinemArt berjudul “Suamiku, Lukaku”.

Pratinjau film “Suamiku, Lukaku” selama 15 menit menjadi konfirmasi bagi hadirin tentang realita bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ada di sekitar kita, bahkan mungkin lebih parah dari apa yang berusaha ditangkap melalui film ini.

Dalam diskusi pasca pratinjau film Suamiku, Lukaku, hadir Setawijaya yang merupakan ketua Yayasan Museum Omah Jayeng yang juga pengajar di Akademi Film Yogyakarta (AFY).

Sharad Sharan selaku produser dan sutradara film Suamiku, Lukaku serta Nurmawati yang aktif melakukan aktivitas pencegahan KDRT dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) sebagai penanggap diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya Lia Nathalia.

“Terus terang saya _shock_ melihat secara eksplisit seperti itu,” kata Setawijaya menanggapi film “Suamiku, Lukaku” yang rencana akan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia sekitar kwartal pertama 2026.

Film “Suamiku, Lukaku” menampilkan Boim Wong yang beradu peran dengan Acha dikombinasikan dengan akting dari Ayu Azhari, Raline Shah, dan Mathias Muchus tentu layak untuk layak untuk dinantikan kehadirannya.

“Adegan-adegan yang Anda lihat itu semua dari kisah true story, tidak ada satu sceen pun yang imajinasi,” kata Sharad seraya menggambarkan parahnya kasus KDRT yang  ia ketahui di negara-negara tempat ia pernah bermukim seperti di India, Malaysia, Singapura, dan bahkan Indonesia.

Menurutnya umumnya banyak perempuan menjadi korban KDRT, namun banyak orang memilih diam terhadap kasus-kasus ini.

“Melalui film ini saya ingin berbuat sesuatu untuk perempuan. Mereka adalah generator dari kemanusiaan,” kata Sutradara film Pura-Pura Nikah.

Sharad menambahkan bahwa di film “Suamiku, Lukaku” setidaknya ada lima jenis KDRT yang coba digambarkan. Silain itu juga akar penyebab KDRT disinggung.

Sementara Nurmawati dari Rifka Anisa WWC mengakui bahwa perempuan sebagai korban KDRT memang masih berada di puncak tertinggi data, baik global mau pun di lingkup Yogyakarta.

“Ada dominasi laki-laki. Itu bukan salah laki-laki, tapi factor budaya yang kita kenal dengan budaya patriarki, yang mana budaya ini memposisikan laki-laki itu manusia yang lebih unggul, inferior dan perempuan itu yang superior. Jadi ada ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan,” kata Nurmawati tentang hal mendasar penyebab KDRT umumnya.

“KDRT paling tinggi adalah kekerasan terhadap istri,” Nurmawati menggarisbawahi.

Sayangnya sampai saat ini para korban KDRT banyak yang belum berani melaporkan kekerasan yang dialaminya karena beragam pertimbangan, termasuk soal ekonomi dan status sosial di masyarakat.

Sharad Sharan menyampaikan bahwa proses pembuatan film “Suamiku, Lukaku” melibatkan perempuan di semua proses termasuk sutradara, juru kamera dan lain-lain adalah perempuan dan para aktor yang berperan adalah yang diyakini sangat kuat karakternya.

Film “Suamiku, Lukaku” menjadi film yang dapat menjadi salah satu media edukasi untuk melakukan pencegahan KDRT.

*Latar Belakang*

*Film dengan Tujuan*

Disutradarai oleh Sharad Sharan, Suamiku Lukaku diperkuat oleh jajaran pemain ternama, di antaranya Ayu Azhari, Acha Septriasa, Baim Wong, Raline Shah, dan Mathias Muchus.

Setiap bintang membawa pengaruh dan suaranya untuk memperkuat pesan mendesak film ini, bahwa tidak ada perempuan yang boleh dibungkam, dimarginalkan, atau terjebak dalam lingkaran kekerasan di rumah tangga mereka.

*Tantangan yang Kita Hadapi*

Indonesia masih bergulat dengan tingginya angka kekerasan berbasis gender.

Menurut laporan Komnas Perempuan 2023, tercatat terdapat lebih dari 339.000 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan mayoritas terjadi di ranah domestik.

Para ahli menekankan bahwa jumlah tersebut kemungkinan jauh lebih tinggi, karena banyak korban memilih untuk diam akibat stigma, ketakutan akan balasan, dan keterbatasan akses pada dukungan hukum maupun sosial.

Diamnya para korban merupakan tantangan terbesar yang justru memperpanjang siklus kekerasan dan marginalisasi.

Memutus rantai ini membutuhkan bukan hanya keberanian dari para penyintas, tetapi juga solidaritas dari komunitas, media, dan para pemimpin.

*Sebuah Kesempatan Transformasional*

Film “Suamiku, Lukaku” melampaui hiburan biasa. Film ini adalah seruan untuk bertindak bagi para legislator, pemimpin masyarakat, dan warga negara.

Dengan menyoroti realitas KDRT, sekaligus menggambarkan jalan menuju ketahanan.

Film ini bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran tentang epidemi tersembunyi di Indonesia, yakni KDRT.

Selain itu banyak orang tercerahkan dan mau mendorong para penyintas untuk berani bersuara dan mencari perlindungan tanpa rasa takut.

Film ini juga diharapkan dapat menginspirasi pembuat kebijakan untuk memperkuat hukum dan sistem dukungan bagi korban.

Diharapkan film Suamiku, Lukaku dapat menyatukan masyarakat dalam misi bersama untuk menegakkan keadilan, martabat, dan kesetaraan bagi korban KDRT.

Diharapkan film ini menjadi awal baru dari gerakan nasional transformasional.

Di mana cerita menjadi pemicu perubahan dan seni menjadi penopang kehidupan bagi jutaan perempuan.

Bersama, melalui Suamiku Lukaku, Indonesia dapat memberdayakan perempuan untuk hidup bebas dari rasa takut dan merebut kembali suara mereka yang sejati di tengah masyarakat. (Olam).