Opini

Apa yang Salah Menjadi Radikal?

×

Apa yang Salah Menjadi Radikal?

Sebarkan artikel ini
Foto: Penulis.

OPINI, Suara Jelata—Indonesia dikenal sebagai negara multi-dimensional diantaranya, ialah multi etnis, agama, suku, bahasa, budaya dan seterusnya.

Karena keanekaan itulah yang menjadi salah satu penyebab Indonesia menjadi negara yang besar. Besar dalam artian mampu bersatu dalam keanekaan. Padahal fitrah manusia dengan genusnya lebih bercorak tak ingin terkalahkan. Saling mendominasi.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Informasi di media massa baru-baru ini memporak-porandakan kesatuan NKRI sebagai modal awal untuk menuju harapan dan cita-cita berkesejahteraan dan berkeadilan sosial.

Porak-poranda akibat polemik mengenai pernyataan salah seorang Menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo terkait pembasmian ideologi yang dinilai radikal di Bumi Pertiwi ini.

“Membasmi radikalisme di Indonesia” pernyataan itu dinilai sangat mengerikan apalagi keluar dari mulut seorang Menteri Agama yang baru dilantik.

Seolah-olah radikalisme merupakan hama yang patut dipangkas di Bumi Pertiwi. Betapa menyeramkannya hal itu jika memang terjadi.

Sebelum terlampau jauh dalam pembahasan tulisan ini, sepatutnya kita mengenal terlebih dahulu, apa itu radikal? Yakni diambil dari bahasa latin “Radix” atau akar. Artinya sangat dalam, karena menyentuh hal paling sublim dalam satu persoalan.

Lantas apa yang salah dengan hal itu? Bukankah satu persoalan akan ditemui titik sentralnya jika mengetahui akarnya terlebih dahulu?.

Sejarah mencatat pendirian bangsa, sejak 1928 dalam Sumpah Pemuda dengan semangat mendirikan tanah air, bangsa dan bahasa yang satu dan semangat itu merupakan gerakan radikal menghadapi kolonialisme.

Proklamasi tahun 1945 di BPUPKI para founding person bangsa dengan semangat juang menyatukan wilayah-wilayah pasca kolonial juga melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya melahirkan satu konsensus yang berujung pada proklamasi kemerdekaan.

Bahkan sampai akhir masa orde baru, ketika para anak bangsa dari segala dimensi berjuang merontokkan rezim otoriter, juga dengan semangat radikalisme, karena ingin mengganti sistem politik yang cenderung koruptif.

Kita patut mengingat, Indonesia yang didirikan dengan niat baik oleh para founding person bangsa, seharusnya dijaga tetap utuh.

Indonesia juga dilahirkan dan didirikan dengan berbagai macam pikiran-pikiran bermutu karena gerakan radikal–kolektif membabat kolonialisme agar tetap terjaga dan dinikmati oleh anak cucu kelak.

Kembali dalam konteks narasi radikalisme di tanah air. Istilah ini paling laris digunakan sejak terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Ormas. yang pada waktu itu, rezim merongrong agar ‘Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)’ dibubarkan, dan hingga sekarang narasi radikal menjadi pembicaraan ramai dalam kekuasaan.

Kondisi rezim sekarang seolah-olah menjadi penafsir tunggal terkait radikalisme.

Seolah-olah menjadi hak mutlak menilai siapa yang radikal, dan siapa yang tidak. Bukankah negara yang didirikan dengan niat baik ini telah disepakati terkait multi-dimensional, termasuk multi-tafsir?.

Bukankah dengan pengalaman sejarah telah memberikan pelajaran ketika penafsir tunggal jika berasal dari kekuasaan akan menghasilkan otoritarianisme, seperti Orde Baru (Orba), sangat miris.

Tentunya kita sangat berharap kepada Presiden yang baru dilantik dan terkenal dengan niat baiknya itu mampu melakukan pendekatan humanistik kepada warga negaranya.

Karena di era krisis kepercayaan kepada pejabat publik sekarang, tentunya rezim juga harus memberikan harapan optimis kepada masyarakatnya.

Karena yang terdengar dan terlihat sekarang menurut beberapa penilaian masyarakat hanyalah pesimisme terhadap rezim. Tentunya kita tak menginginkan hal itu terus terjadi dan menimpa NKRI yang didirikan dengan baik ini.

Sepatutnya rezim siap menerima kepelbagaian ideologi dan melihat sejarah pendirian bangsa sehingga bisa besar seperti sekarang, karena para founding person menerima multi-ideologi.

Besar harapan kepada Joko Widodo sebagai nahkoda NKRI agar menjaganya tetap utuh, dan semakin humanistik. Sehingga kehangatan sesama warga negara tetap terjalin...Wallahu A’lam Bishowaab. Sabtu, (2/10/2019).

Penulis: Aslang Jaya.
              “Mahasiswa Jurusan Hukum
             Tata Negara di Universitas Islam
             Negeri Alaudin Makassar
            (UINAM)”.