NewsOpini

Penerapan Pajak Digital Ditengah Pendemik Covid-19, Efektif ?

×

Penerapan Pajak Digital Ditengah Pendemik Covid-19, Efektif ?

Sebarkan artikel ini

OPINI, Suara Jelata— Covid-19 tengah melanda hampir seluruh dunia termasuk Indonesia. Semua negara di seluruh dunia dibuat panik dengan adanya virus ini. Virus ini menyebabkan banyak perubahan dan kerugian di Negara-negara seluruh dunia salah satunya kerugian ekonomi.

Tidak main-main dampak yang ditimbulkan virus ini membuat pemerintah kebingungan . bagaimana tidak, virus ini menimbulkan kerugian hampir di berbagai sector diantaranya, kesehatan, pariwisata, perekonomian, dan sector lainnya.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Akibatnya, pemerintah terpaksa harus membuat berbagai kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Beberapa kebijakan yang telah diterapkan yaitu diantaranya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), physical distancing, penggunaan masker, penerapan hidup bersih, dan lain sebagainya.

Dari kebijakan yang telah diterapkan tentunya ada efek samping yang ditimbulkan, khusunya di sektor perekonomian. Salah satu dampaknya adalah pembatasan bekerja di luar rumah sehingga kerja dilakukan di rumah (work from home/WFH) dengan berbekal koneksi Internet.

Sebuah wacana yang pernah mengemuka di tahun lalu terkait dengan Revolusi Industri 4.0. Lantas bagaimana layanan perpajakan yang biasa dilakukan dengan tatap muka? Mulai 16 Maret 2020, layanan seperti pelaporan SPT, konsultasi, permohonan atau pemberitahuan sudah dilakukan dengan digital. Singkatnya, banyak layanan perpajakan yang diakses melalui Internet.

Sehubungan dengan diterapkannya kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan aktifitas diluar rumah yang tidak begitu penting, penggunaan teknologi pun juga meningkat. Banyak masyarakat yang memanfaatkan teknologi untuk perdagangan dan transaksi online karena dinilai praktis.

Penerapan pajak digital bisa menjadi urgensi untuk menutup defisit perekonomian negara seiiring dengan meningkatnya pengguna dan penyedia layanan digital yang beroperasi di Indonesia. selain itu pemungutan pajak digital bisa digunakan untuk menutup defisit APBN negara. Pemerintah sendiri sebenarnya telah meresmikan pemungutan pajak digitas sejak 1 Juli 2020 dengan Perpu No.1 Tahun 2020. Dikutip dari pajjaku.com, jumlah pajak yang dikenakan adalah sebesar 10% dari nilai yang dibayarkan oleh pembeli atau penerima barang dan/atau jasa.

Terkait dengan pandemi Covid-19, “Ditjen Pajak seolah sedia payung sebelum hujan. Wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dari rumah atau kantor tanpa meninggalkan aktivitas kerja atau usahanya. Tidak perlu bermacet ria di jalan. Apalagi antre menunggu giliran layanan.Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan setiap saat.”(https://news.ddtc.co.id).

Kewajiban daftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sampai pelaporan SPT dapat dilakukan secara daring. Termasuk dalam hal wajib pajak ingin mengambil hak perpajakannya. Layanan digital terakhir adalah pemberian insentif. Semua layanan insentif perpajakan tersebut diberikan secara online dan real time. Wajib pajak sama sekali tidak perlu ke kantor pajak. Insentif itu dapat diteguk wajib pajak lebih cepat, efektif dan efisien. Hikmahnya, digitalisasi layanan perpajakan yang harus didukung oleh semua pihak.

Namun, digitalisasi layanan perpajakan bukan berarti tanpa kendala. Pertama, belum semua wajib pajak melek teknologi. Karena itu, Ditjen Pajak harus mengedukasi kelompok yang belum melek teknologi ini, sehingga mereka tidak menghindar dari kewajiban pajak karena ketidakmampuan itu.

Berbagai layanan digital perpajakan tentu akan membantu wajib pajak di perkotaan, tetapi bisa jadi menyulitkan wajib pajak di perdesaan karena mungkin koneksi jaringan yang buruk atau kurangnya pengetahuan tentang teknologi digital.

Kedua, menjamin stabilitas koneksi DJP Online. Hal ini agar wajib pajak dapat menunaikan kewajiban dan mengambil haknya dengan mudah. Kita ingat gangguan saat mengajukan sertifikat elektronik pada 29 Januari-3 Februari 2020 yang menyebabkan keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN. Hal serupa terjadi pada 20 Februari 2020 dan menyebabkan wajib pajak tidak dapat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2).

Namun, yang perlu dicermati adalah sportivitas Ditjen Pajak dengan mengecualikan sanksi denda atas keterlambatan lapor itu. Semua layanan perpajakan dilakukan dengan mengutamakan website, jika kurang jelas dilanjutkan call atau ke counter.

Itui berarti proses digitalisasi layanan perpajakan sedang dan akan terus berlangsung untuk memudahkan wajib pajak, tidak peduli ada pandemi atau tidak.

Penulis: Francisca Three Aulia Putri, Ekos IAIM Sinjai

Opini ini diluar tanggung jawab Redaksi