
OPINI, Suara Jelata— Kita semua punya harapan dan impian masing-masing terhadap wadah pendidikan yang semestinya menjalankan tri-dharma perguruan tinggi atau mendidik mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Namun miringnya, kadangkala kampus lebih sibuk dengan urusan politik pragmatis, rasa-rasanya sangat miris untuk membayangkannya, tapi demikianlah yang terjadi sekarang.
Diskusi ilmu politik yang selalu dikaji, politik tidaklah selalu berkonotasi buruk, sebagaimana yang seringkali kita dengar, penyebut politik tidak hanta soal perebutan jabatan atau kekuasaan tetapi politik itu sejatinya adalah seni mengabdi atau seni melayani masyarakat.
Kita harus ketahui bersama bahwa politik pragmatis juga bisa disebut sebagai sebuah dunia ketika segala itikad, motif, kepentingan dan ambisi hadir bersamaan dan saling berhimpit untuk memperebutkan kekuasaan.
Namun secara implisit yang diperebutkan sesungguhnya adalah otoritas dan wewenang untuk membuat keputusan-keputusan publik yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok.
Dalam hal ini, kampus sebagai bagian subsistem pendidikan nasional tentu keberadaannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berperan sangat penting, yaitu pengajaran, pendidikan dan penelitian, serta mengabdi kepada masyarakat.
Itulah kenapa kampus diharuskan untuk bekerja, merumuskan pemikiran baru bagi kemajuan bangsa lewat kajian-kajian akademik dan kerja-kerja politik intelektual.
Perguruan tinggi semestinya memposisikan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintahan atau menjadi laboratorium untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang independen dan ilmiah.
Dengan demikian, maka para akademisi dan intelektual di kampus mesti menjaga diri agar tidak terlibat dalam hegemoni politik pragmatis, seperti dukung mendukung calon untuk kepentingan sempit serta jangka pendek.
Mengingat, banyaknya praktek-praktek yang melanggar tri-dharma perguruan tinggi maka sangat disayangkan ketika aktivitas akademika perguruan tinggi malah sibuk berpolitik pragmatis. Lah, bukannya bekerja dan pengabdian kepada masyarakat?.
Mestinya yang dipertontonkan bukan aksi dukung mendukung kandidat seperti yang kita saksikan saat ini di beberapa perguruan tinggi swasta maupun negeri.
Pasalnya, keterlibatan para akademisi dalam pesta demokrasi politik borjuasi sesungguhnya adalah bentuk penghinaan terhadap wibawa akademikus dan institusi perguruan tinggi itu sendiri secara amanah.
Sehingga apabila perguruan tinggi jatuh dalam tindakan politik pragmatis maka dikhawatirkan independensinya terganggu, kepercayaan masyarakat berkurang, serta kewibaan perguruan tinggi akan tercoreng, dan itulah kedunguan yang akan lahir di publik.
Apalagi bila yang didukung oleh perguruan tinggi itu pernah atau di kemudian hari melakukan tindakan tercela, semisal korupsi dan memiliki sikap otoriter serta penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
Saya kira itulah alasan pokok kenapa perguruan tinggi tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam politik pragmatis karena output dari demokrasi yang kita sepakati bersama semasa peralihan akan buruk rupa, dan relasi di masyarakat akan timpang.
Belakangan ini, memang sering dijumpai orang-orang yang bekerja di birokrasi kampus dengan mudahnya tergoda dalam suasana politik praktis. Nah, itu yang disayangkan karena jalan politik yang dipilihnya adalah politik pragmatis, padahal tidak seharusnya itu terjadi karena menciderai akal sehat dan demokrasi tanah air.
Padahal sangat jelas, dalam Pasal 86 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum, telah disebutkan dengan tegas terkait larangan kampanye di sejumlah tempat, salah satunya di wilayah pendidikan.
Apapun alasannya dan bagaimanapun dalihnya, kampanye di kampus adalah sebuah tindakan tidak etis dan termasuk pelanggaran. Misal, mendatangkan politisi atau pejabat teras partai politik untuk memberikan kuliah umum di kampus ataukah kegiatan yang dikemas, seperti temu alumuni yang berisi kampanye.
Walaupun untuk hal tersebut masih belum pasti, tetapi sebagai bentuk pencegahan potensi terjadinya politik pragmatis mestinya hal tersebut dihindari sedari dini.
Insan kampus sudah seharusnya menjadi teladan berdemokrasi dan berpolitik, Insan kampus hendaknya menjadi contoh yang ideal bagaimana beretika dalam pesta politik.
Terkahir, kepada para akademisi mestinya menjadi juru bicara negara bukan menjadi juru bicara pemerintah atau partai, apalagi menjadi penyambung lidah politisi. Itukan konyol dan tidak etis. Salam hormat.
Penulis: Icca