
OPINI, Suara Jelata— Artis nyaleg di Indonesia bukan lagi sesuatu yang “wow”, hal ini sudah menjadi tren di setiap pemilu di mana banyak artis yang wajahnya suka tampil dan wara-wiri menghiasi layar televisi kita selama 24 jam.
Baik itu di acara musik, gosip, agama, FTV, sinetron, film laga dan lain sebagainya berbondong-bondong ikut terjun dan aktif ke dalam politik praktis. Seakan-akan pemilu memiliki magnet tersendiri buat mereka.
Jika kita bandingkan dengan pemilu tahun 2004, 2009 dan tahun 2014, artis yang ikut bertarung di pemilu melalui partai politik tahun ini untuk mendapatkan kursi.
Baik di pusat ataupun di daerah sebagai wakil rakyat mengalami kenaikan yang sangat signifikan dan jumlahnya sangat banyak.
Nama tenar yang mereka miliki menjadi modal kuat untuk bisa terpilih menjadi anggota legislatif.
Sebut saja, Manohara Odelia, Olla Ramlan, Vicky Shu, Cut Ratu Meyriska, Ian Kasela, Tina Toon, Angel Lelga, Charly Van Houten, Giring Nidji, Denada, Jamal Mirdad, Syahrul Gunawan, Jonathan Frizzy dan masih banyak lagi nama-nama artis lainnya yang ikut nyaleg.
Lebih tepatnya total taburan bintang ada 54 bintang film, bintang sinetron, penyanyi, bintang iklan dan sejenisnya.
Terbanyak ada di partai Nasdem, sebanyak 27 orang di susul PDI-P 13 orang kemudian PKB 7 orang, Berkarya 5 orang, PAN, Demokrat, Golkar masing-masing 4 orang.
Sedangkan Perindo dan Gerindra masing-masing 3 orang, dan PSI 1 orang. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada yang salah dengan para artis jika tiba-tiba banting setir menjadi seorang politikus.
Mengapa demikian? karena sesungguhnya hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3).
Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi Pemilu, Pilpres dan Pilkada.
Masuknya artis atau publik figur sebagai calon legislatif di sebuah partai memberi keberkahan tersendiri untuk partai tersebut, salah satunya adalah mendongkrak elektabilitas partai dengan ketenaran dan kepopuleran yang dimiliki oleh artis tersebut, diyakini dapat menjadi lumbung suara untuk partai tersebut.
Selanjutnya, kepopuleran artis caleg ini dipercaya mampu menekan ongkos dan biaya politik oleh para elit partai, karena para caleg sudah dikenal luas oleh masyarakat sehingga lebih mudah untuk melakukan sosialisasi.
Namun, di sisi lain dengan masuknya para artis sebagai jalan pintas untuk mendulang suara ditakutkan akan merusak proses kaderisasi pada suatu partai.
Partai lebih memilih cara instan ketimbang melakukan perekrutan anggota sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
Hal ini merupakan salah satu akibat dari sistem politik Indonesia bertumpu pada suara mayoritas. Lebih lanjut, Partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik tidak berjalan yang mana fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan yang lebih luas.
Serta hal ini juga dapat menimbulkan rasa kecemburuan dari sesama kader yang jelas akan menggangu kinerja dalam upaya membesarkan partai.
Sebab bisa saja mereka beranggapan bahwa seharusnya mereka lah yang telah lama berproses di dalam partai mendapatkan kesempatan besar untuk menjadi caleg, akan tetapi diberikan kepada para pendatang baru yakni para selebritas hanya dengan alasan masalah popularitas.
Ah, sungguh memilukan, bagaimana bisa partai dengan proses kaderisasi dan kepemimpinan yang buruk bisa membawa perubahan untuk Indonesia tercinta.
Tapi itu tergantung dari masyarakat bagaimana menyikapinya. Seharusnya, para elit partai politik melihat terlebih dahulu kapasitas dan kapabilitas para artis yang akan diusung oleh partai mereka.
Apakah mereka paham akan persoalan politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan lain sebagainya.
Alangkah lebih afdol rasanya jikalau partai politik mendorong para kader yang mempunyai kualitas lebih baik, dibandingkan dengan para artis yang secara instan masuk ke dalam partai politik dan tidak paham politik.
Akhir kata, biarlah para artis yang nyaleg tersebut berjuang untuk mendapatkan hati dan suara masyarakat, biarlah mereka dimuat di media, bukan berita gosip seperti yang sering ditonton emak-emak zaman now dalam mengisi waktu luangnya.
Akan tetapi, berita politik yang pemberitaannya lebih tajam dari silet dan lebih heboh dari acara rumpi yang sering dibawakan oleh Mbak Feni Rose.
Semoga yang terpilih nanti suaranya tetap nyaring menyuarakan kebenaran dan aspirasi masyarakat banyak, senyaring ketika tampil dan menghibur para masyarakat melalui layar televisi.
Penulis: Akbar. G (Pemuda Tabbinjai)