SINJAI, Suara Jelata—Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menerapkan sistem zonasi yang dianggap langkah strategis dalam upaya pemerataan pendidikan untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan secara simultan. Rabu, (3/6/2019).
Kebijakan zonasi ini akan langsung berintegrasi untuk pemerataan standar layanan pendidikan di Indonesia, namun tak semua golongan masyarakat menerima hal tersebut.
Misram, salah satu pemuda di Desa Bulutellue, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai menganggap kebijakan Kemdikbud itu tidak efisien.
“Saya perihatin melihat sistem zonasi yang diterapkan pada penerimaan siswa baru tingkat SMA sederajat, di kota tidak diterima calon siswa baru bila melewati 1 SMA, terus mendaftar sekolah SMA yang wilayahnya masih mencakup tempat tinggal calon siswa, dan juga tidak diterima alasan kejauhan,” tuturnya.
Masalahnya masih dalam satu kecamatan, jadi siswa yang jauh rumahnya tidak bisa sekolah lagi karena ditambah kemampuan ekonomi keluarga yang tidak memadai untuk menyekolahkan anaknya jauh-jauh.
“Sesuai keinginan sistem zonasi ini, jadi yang jauh rumahnya tidak usah sekolah lagi begitu maunya pemerintah,” imbuhnya.
Misram menganggap bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh Kemdikbud ini betul-betul abal.
“Katanya meningkatkan kualitas pendidikan malah sistem ini adalah membiarkan generasi muda susah untuk meraih cita-citanya,” katanya.
Misram, meminta supaya ini kajian ulang agar tidak disama ratakan sistem pendidikan di kota dengan sistem di pedalaman.
“Kita terpencil jauh meskipun masih dinaungi wilayah tapi jaraknya mamang jauh, tolong pemerintah kalau mau buat aturan jangan cuma satu sampel saja diliat baru membuat peraturan, karen beginilah jadinya”terangnya.
Anak petani yang kerjaannya nengembala ternak tambah tak bisa karena keterbatasan yang dicipatakan oleh sistem zonasi ini,kuncinya.
Alam