OPINI, Suara Jelata— Pertama, perlu saya sampaikan selamat kepada Prof. Hamdan Juhannis atas terpilihnya sebagai rektor baru UINAM.
Tentunya ucapan selamat ini bukan akhir dari sebuah pencapaian dalam lingkup kampus/akademik, tapi ucapan selamat ini adalah awal dari sebuah proses pengabdian dalam berjuang selama beberapa tahun kedepan dengan berbagai dinamika kampus yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Ribuan mahasiswa sangat berharap kepada Prof. Hamdan selaku (Rektor UIN) sebagai pemangku kebijakan tertinggi memperbaiki mahasiswa dan kampus untuk lebih tercerahkan lagi.
Tentunya peran kampus harus kembali kepada khittahnya menghasilkan manusia-manusia berkualitas, berintlektual dan proaktif dengan kondisi bangsa saat ini.
Apa lagi kita melihat perpecahan antar ummat semakin jelas dan terang-terangan dilakulan oleh kelompok liberal ekstrem, dengan berbagai macam tindakan untuk membuat bangsa terpecah.
Di sinilah peran fungsi UINAM sebagai kampus islam yang melekat kata peradaban harus mampu menciptakan intelektual yang memiliki tingkat kesadaran dalam mempersatukan ummat lebih kuat.
Karakter anak bangsa sejak dini harus mulai di asah bukan hanya dalam segi intleektual semata, tapi juga dari aspek spritual. sebab intelektual tanpa di bekali sptliritual akan sangat kurang dalam menjalankan roda kehidupan.
periode mahasiswa adalah masa pembentukan profesionalisme keilmuan, idealisme serta memperdalam tingkat kepakaan sosial terhadap kondisi ketimpangan di masyarakat .
Ketika memasuki bangku perkualiahan, proses pembentukan karekter dan jati diri harus batul-betul di dapat bagi seorang mahasiswa. Tentu ini bukan hal mudah untuk membentuk karakter seorang mahasiswa tersebut, apalagi gemburan teknologi yang semakin mengglobal dengan konten-konten yang sangat tidak ideal untuk di tonton membuat anak bangsa butuh seorang tenaga pendidik (dosen) yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan benar-banar sabar dalam melakulan proses pendidikan tersebut.
Inilah salah satu hal penting yang harus dilakukan prof. Hamdan (rektor) dalam awal masa jabatannya. Pembentukan karekter, pembentukan karekter untuk mahasiswa bukan hanya dengan melakukan CBT, BTQ dan sebagainya.
Sebab jika dilihat dari realitas yang terjadi dengan berbagai macam dinamika kampus, program CBT tidak sepenuhnya mampu mengubah karekter mahasiswa. terbukti beberapa kasus di kampus UINAM masih sering terjadi setiap tahunnya, seperti tawuran antar fakultas, kasus amoral dan tentunya masih banyak hal negatif yang harus dituntaskan oleh Prof. Hamdan, pemimpin tertinggi di kampus peradaban.
Perguruan tinggi harusnya menjadi pintu gerbang bagi mahasiswa untuk memasuki dunia nyata. Maka melalui tiga tridarma universitas (pendidikan, penelitian dan pengabdian) harus betul-betul diaktualisasikan.
Pendidikan tinggi diamanahkan untuk melahirkan kaum inteleltual yang tercerahkan, bukan hanya mengejar yang pragmatis dengan mementigkan diri sendiri.
Saat ini, jika kita melihat masih banyak alumni yang lahir di UINAM justru intelektual yang mengalami dis orientasi hidup, lulusan UINAM sering tidak berkualitas bahkan tidak di pake di dunia kerja.
Tentunya ada aspek sehingga para alumni tersebut tidak terpakai di luar sana, aspek tersebut seperti pengetahuan, leadership, dan skill yang masih rendah sehingga kalah bersaing dengan alumni universitas lain.
Tentunya ini menjadi catatan penting untuk rektor baru saat ini melahirkan alumni yang siap bertarung di dunia nyata.
Kegagalan kampus dalam memperkaya mahasiswanya bukan cerita baru.
Seperti yang dikatakan oleh “Ali Syariati” tugas seorang cendikiawan mereka yang tidak hanya sekedar memiliki ilmu, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun kesadaran masyarakat sekaligus terlibat di berbagai gerakan sosial yang ada di sekitarnya.
Kemudian juga yang dikatakan oleh “Antonio Gramski” dengan konsep intelektual organik. Seorang intelektual harus turun ke ranah masyarakat untuk menciptakan perubahan yang signifikan untuk kehidupan mereka.
Kampus tentunya jangan hanya sibuk dan arogan dengan teori-teorinya, seorang akademisi jangan seperti menara gading menjual kelangi dengan segudang teorinya dan melupakan segala aspek permaslahan yang ada di bumi.
Kampus jangan hanya beroperasi sebagai industri penghasil sarjana secara massal, ego anak didik di bangun sebatas mampu menyelamatkan diri sendiri dan mengabaikan persoalan lingkungan di sekitarnya.
Saya sadari bahwa kampus saat ini tidak bisa sepenuhnya memberi kebutuhan intelektual mahasiswanya, makanya muncul kelompok-kelompok yang membangun gerakan intelektual yang progresif.
Kelompok seperti ini jangan pernah di batasi ruang geraknya, sebab mereka sadar jika hanya mengandalkan ruang kelas untuk beradu gagasan itu sangatlah teebatas. Mereka berinisiatif terlibat lebih luas seperti forum dialog, diskusi, kajian, dan aktifitas sosial.
Tentunya ini menjadi catatan penting mengapa demikian mereka membangun kelompok seperti itu, sebab di luar ruang kuliah mereka dapat membentuk kualitas intelektual, spiritual, dan kepemimpinan yang mereka anggap kampus gagal memenuhinya.
Salah Satu dampak dari hal tersebut adalah pembatasan organisasi intra kampus dalam proses kaderisasi dengan diambil alihnya peran fungsi dari lembaga intra tersebut, sehingga hampir seluruh mahasiswa mencari lembaga ekstra menjadi tempat untuk mengaktualisasikan dirinya.
Itulah jika dilihat dari peran lembaga saat ini antara ekstra dan intra, peran lembaga ekstra lebih menonjol dalam menciptakan pemimpin yang berintlektual. Seharusnya peran lembaga intra kampus dikembalikan pada tupoksinya masing-masing agar proses pementukan kepemimpinan betul-betul di dapat oleh mahasiswa, bukan hanya mengandalkan opak yang hanya berjenjang 3 hari.
Sungguh potret yang membingungkan dengan jangka waktu 3 hari mahasiswa bisa di sulap sedemikian rupa untuk berubah wujud (sangat mustahil).
Kemudian di tambah jumlah mahasiswa yang semakin tahun semakin bertambah membuat kampus semakin sesak dengan kapasitas kampus yang masih terbatas, terutama jumlah gedung perkualiahan yang masih sangat terbatas.
Kemudian persoalan skorsing dan DO mahasiswa yang sampai hari ini masih bergantung nasib kepada Prof. Hamdan selaku rektor pemegang kebijakan tertinggi Di UINAM.
Mereka saat ini para mahasiswa yang terkena skorsing “melawan takdirnya” yang sampai hari ini belum jelas entah bagaimna nasibnya kedepan. Mereka masih menunggu sejuta harapan kepada Prof. Hamdan agar kejelasan masa depan mereka bisa tercerahkan seperti yang Prof. Hamdan rasakan saat ini.
Di tambah kondisi tekanan orang tua yang semakin membebani psikologi mahasiswa tersebut membuat mereka semakin terbebani. Saat ini, mereka masih mengharap agar hidayah tuhan bisa diberikan kepada Prof. Hamdan agar mencabut kembali SK skorsing yang di terima 19 mahasiswa tersebut supaya dapat melanjutkan kembali pendidikan mereka.
Selamat bertugas pak Prof. kami sangat menunggu kebijakannya yang pro terhadap mahasiswa.
Penulis : kamal-nyarrang, mahasiswa UIN Alauddin Makassar
Tulisan tersebut diatas adalah tanggung jawab penuh penulis