OPINI, Suara Jelata—Sejarah menampilkan dirinya dalam kejadian politik Apartheid di Afrika Selatan, bukti nyata negara mencapai titik klimaks dari politiknya, yakni politik rasisme.
Di sisi lain, seorang tokoh, Marthen Luther yang menolak dan menentang keras politik rasisme karena wujud yang merendahkan harkat dan martabat masyarakat kulit hitam dari kulit putih.
Nihilnya, peristiwa tersebut juga ada di Indonesia. Kejadian serupa dialami di tanah Papua, tanah nenek moyang, tanah sejuta sumber daya alam, bahkan tanah dari Indonesia itu sendiri.
Orang Papua diserang, dicaci, bahkan direpresif oleh mereka yang menyebut dirinya manusia dengan isu rasisme, seolah menganggap orang Papua mirip dengan binatang yang umumnya berada di Indonesia.
Mereka ikut andil dalam kegiatan tertentu yang berhaluan dengan norma politik dan sosial menamai masyarakat Papua sebagai (maaf) Monyet, Babi, Anjing, dan lainnya tak manusiawi.
Tak hanya itu, tapi juga mengundang isu Suku, Agama, dan Ras (SARA), maka dari itu perlu disadari persoalan kerusuhan di Papua sesungguhnya karena mereka merasa tak nyaman, dan terancam.
Tentu saja lontaran itu tidak muncul bagaikan gerakan refleks saja. Melainkan muncul karena martabat Orang Papua dianggap mirip seperti binatang yang mereka sebut monyet.
Walaupun sangat nihil sejenis binatang itu bertengger di ‘Bumi Masyarakat Papua Tercinta’ akan tetapi kita harus melihat bahwa selain kita melihat kekayaan alam Papua, juga perlu hal lain yang dilihat.
Seperti pendidikan orang Papua, kedaulatan, dan kehidupannya. Mesti menjadi catatan supaya kita tidak menjadi penjajah dalam rumah sendiri, yang disebut Inonedsia.
Sangat miris memang melihat peristiwa politik rasisme di Indonesia ini, mereka tidak mengerti bahwa Indonesia tercipta dari beragam Suku, Ras, Adat, dan Agama termasuk yang ada di tanah Papua.
Frame Bhineka Tunggal Ika, dalam artian berbeda-beda tetapi tetap satu, semboyan itu seolah ‘mati suri’ di NKRI ini.
Umpatan rasisme tersebut sudah berulang kali kita dengar kapan dan di mana saja, tak terlepas dari rasisme terhadap orang Papua.
Tentu tak terlupa, yang baru-baru ini peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pada,16 – 17 Agustus 2019.
Tidak hanya di Surabaya, tapi bahkan kemarin, 19 Agustus 2019 terjadi peristiwa menggemparkan di Asrama Mahasiswa Papua di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Secara psikologis, kita merasa nilai kemanusiaan kita dihina disamakan dengan nilai sejenis hewan liar itu.
Mesti dipahami bersama, bahwa ini pukulan psikologis tersebut bisa terakumulasi tumbuh menjadi ideologi alternatif di luar dari ideologi Pancasila.
Semakin dihina dengan umpatan rasisme, semakin termotivasi orang Papua berjuang keras untuk segera keluar memisahkan diri dari Indonesia.
Sikap ini adalah sebuah konsekwensi logis yang harus ditempuh oleh orang Papua untuk menghindari cemoohan rasisme tersebut.
Lontaran-lontaran rasisme tidak hanya lahir di masyarakat umum bahkan lahir dari mulut–mulut para aparat ketika berhadapan dengan gerakan mahasiswa Papua di berbagai daerah luar Papua.
Hal ini kita dapat berkesimpulan peristiwa rasisme sudah menjadi pandangan umum yang harus diubah oleh setiap individu manusia, bahwa derajat kemanusiaan masyarakat Papua ini tidak sama-sama dengan sejenis hewan yang sering mereka sebut ketika melampiaskan amarah kepada orang Papua.
Penulis: Wahyu Pratama Hasbi, asal Sinjai, sekaligus penggerak Federasi Indonesia Bersatu Sulsel, dan ketua di Komunitas Milenial Peduli Kampung.
Ket: Opini tersebut di atas sepenuhnya tanggung jawab penulis.