OpiniPENDIDIKAN

Selamat Hardiknas, Benarkah Pendidikan Untuk Semua?

×

Selamat Hardiknas, Benarkah Pendidikan Untuk Semua?

Sebarkan artikel ini

OPINI REDAKSI—Setiap orang selain berhak merasakan kesejahteraan di bidang sosial, juga berhak menikmati pendidikan yang layak, demikian direkomendasikan konstitusi kita, (Red-UUD 1945). Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan berdirinya negeri ini.

Walau kenyataan selalu berbanding terbalik.
Di lain sisi, pendidikan digenjot dengan anggaran Rp81,5 Triliun pada tahun ini (2021).

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Merupakan anggaran yang nyaris setara dengan Finlandia, dengan kucuran dana pendidikan berkisar 30 persen dari APBN.

Meski pada tahun 2019 lalu, Finlandia dinobatkan sebagai negara terbaik di dunia dalam sistem pendidikan. Sementara Indonesia nyaris menempati posisi terakhir di Asia.

Bila mengamati perkembangan dunia dengan tingkat kemajuan tekhnologi di atas rata-rata. Kemudian mengamati sistem pendidikan di Indonesia, maka tak heran bila Paulo Freire mendeskripsikan pendidikan sebagai sitem dengan “gaya bank”, sebagai akumulasi kapital yang subur dan sama sekali tidak mencerdaskan kehidupan sosial.

Kontradiksi moral antara menumbuhkan intelektual lewat pendidikan dengan praktik represif feodal terhadap mahasiswa di beberapa daerah misalnya, itu merupakan bukti nyata bobroknya sistem pemerintahan di negeri yang bertajuk tanah surga ini mengupayakan pembangunan sumber daya manusia.
Dugaan publik tak lagi terbantahkan, di mana kebodohan seolah menjadi salah satu program yang dipolitisir.

Agar pemerintah atau siapa pun itu yang memiliki kewenangan tetap bertahan dalam kekuasaannya. Parahnya tatanan negeri ini dengan mudah ditemui di layar kaca, korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi rahasia umum bangsa ini.

Padahal sejatinya mereka adalah orang-orang terdidik yang terlahir dari tempaan pendidikan di tingkat tertinggi perkuliahan.

Tetapi hal tersebut juga bukan sepenuhkan kesalahan oknum, melainkan metodologi yang dipraktekkan di ruang-ruang formal, tak lebih dari doktrin semata.

Bila di sekolah ada siswa yang nekat berinovasi melampaui kemampuan gurunya, dianggap pembangkan. Demikian juga di kampus, bila dosen diprotes oleh mahasiswanya, maka di Drop Out akhirnya.

Secara tidak langsung kita menganut demokrasi, namun dari konsep-konsep tersebut belum mampu direalisasikan secara universal, sebab hal ini juga berlaku dan akut dalam tubuh birokrasi.

Keamanan kekuasaan ada pada kebodohan publik tentunya. Makin bodoh publik, semakin tenang pula mereka yang berkuasa.

Seolah penguasa bukan hanya mempertahankan kebodohan, tetapi juga menciptakan persoalan tersebut. Lalu tiba-tiba datang dengan berbagai perihal disodorkan: pendidikan, kesehatan, infrastruktur.

Hingga tampaklah mereka layaknya pahlawan di mata orang bodoh. Tetapi bila logika itu dibalik, misalnya, semua orang selalu menyempatkan waktu belajar.

Tak ada lagi yang bodoh. Kepercayaan pada penguasa tentu akan menurun, dengan sendirinya politisi akan lebih berkualitas.

Jadi selama ini, kami membayangkan, bahwa penguasa memang sengaja menciptakan kebodohan, agar publik mudah dikelabui.

Program pendidikan tak lebih dari rekayasa dan politik anggaran belaka. Anggaran yang terkucur dari pusat tidak akan pernah sampai secara maksimal di tingkat desa, walau perjuangan dan peran serta tenaga pendidik yang paling bekerja keras serta penuh pengorbanan justru mereka yang di pelosok-pelosok.

Sangat masuk akal dituliskan Eko Prasetyo untuk anak bangsa, dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sekolah bahwa sekolah didesain selain sebagai pasar juga hanya untuk mereka yang mapan.

Padahal para pendahulu kita merancang bangsa ini untuk tetap memprioritaskan pendidikan, sebagaimana mereka menganggap ilmu pengetahuan sebagai hal yang mutlak dikembangkan.

Hal itulah yang dilakukan Muh Hatta dalam beberapa biografinya yang dikenal sebagai kutu buku yang progresif. Tentu tidak jauh beda dengan yang dilakukan Soekarno, bahkan suatu ketika Presiden Republik Indonesia (RI) berucap, “Seluruh waktuku kuhabiskan untuk membaca”.

Sehingga tidak bisa dinafikkan, kemerdekaan Indonesia 1945 bukan hadiah semata, melainkan ada banyaj peran penting dari para pemikir bangsa ini.

Walau saat itu Hiroshima dan Nagasaki diluluh-lantakkan oleh Amerika menjadi sebab Jepang menarik pasukan dari Indonesia.

Hal menarik lainnya adalah, saat Jepang nyaris rata dengan tanah, kaisar Hirohito masih sempat berpikir sehat yang belakangan dengan cepat membuatnya bangkit dari keterpurukan, hanya dengan mengumpulkan semua guru yang masih hidup.

Karena baginya, ia kalah bukan karena kekurangan alat perang, bukan pula kekurangan pasukan, melainkan kekurangan ilmu pengetahuan. Hal itu juga pernah dikatakan Pramoedya, bahka negara dikuasai oleh orang yang berilmu.

Jadi sebagai kesimpulan, menurut kami. Perlu adanya inovasi dalam dunia pendidikan secara total dan masif. Pemerintah harus menganggarkan dunia pendidikan lebi besar, dengan pengawasan yang ketat serta melalui metode yang humanis dan berkelanjutan.

Mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi sejak dulu sudah semestinya mampu lebih demokratis dalam pembuatan maupun penerapan kebijakannya. Sehingga terjadi siklus berkesinambungan yang transparan.

Selain itu, menurut kami. Pemerintah juga perlu membuka akses yang lebih luas untuk pendidikan bagi anak-anak yang kehilangan mimpi di desa-desa terpencil.

Upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan minat baca, mengurangi angka putus sekolah, melalui dunia literasi sudah semestinya mampu diakses oleh setiap orang agar mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah selayaknya bisa berpendidikan tinggi.

Kami mengulas secara ringkas problematika pendidikan di Indonesia, sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2021, hari ini. Terakhir kami mengutip, Ki Hajar Dewantara, “Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah”.